Minggu, 23 September 2012

HUKUM KEHIDUPAN CHAIRUL TANJUNG

Sabtu, 22 September 2012 Pukul 20.07


Meresensi buku bukanlah keahlian saya, tapi selain setiap kali membaca buku-buku biografi tokoh-tokoh besar dunia, saya selalu berniat untuk menuliskan kesan yang saya tangkap dari bacaan tersebut. Buku ini merupakan buku kali keberapa yang saya baca terutama mengenai biografi atau kehidupan seseorang. Banyak buku yang telah saya baca dalam kategori biografi, tetapi itu rata-rata merupakan biografi para tokoh yang berasal dari luar Indonesia, saya sebut saja Hillary Clinton seorang wanita yang punya karakter kuat dalam hal kepemimpinan negara membuat saya terpukau, kemudian Steve Jobs biografi seorang penggagas sekaligus manajer handal dibidang tekhnologi yang sangat terkenal seantero dunia. Buku yang saat ini sangat ingin saya tulis untuk dikenang dan saya hayati merupakan tokoh yang berasal dari dunia bisnis, namanya adalah Chairul Tanjung. Namanya sangat Indonesia, Tanjung merupakan marga dari Sumatera Utara yang asli Indonesia.
Saya mulai mengingat nama Chairil Tanjung ketika pada suatu waktu saya diberi tahu bahwa pemilik Bandung Super Mall adalah CT, kemudian Trans TV, Trans7, Barkin and Robbin, Carrefour, Bank Mega, dan banyak perusahan dibidang perkebunan dan lain sebagainya. Saya berpikir pada awalnya orang ini pasti sangatlah kaya, liberal, tidak berhati, penguasa, dan berbagai kata yang bisa dikelompokkan sebagai pembawa sifat jahat. Namun setelah saya membaca biografinya, sejarah hidup serta perjuangannya, saya paling tidak sudah terpengaruh bahwa ternyata CT merupakan pengusaha yang tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga bangsa. Walaupun kedepan saya juga tidak bisa memprediksi beberapa hal yang tertulis akankah kebenaran atau hanyalah sebuah kamuflase untuk sebuah tujuan yang saya anggap menjijikkan.
Di bagian ke 6 halaman 32 saya mengutup satu paragraf “Modal saya hanya suara, tanpa sedikit pun niat menjatuhkan siapa pun...Oleh karena itu, saya bisa melakukan kegiatan di perguruan tinggi sekaligus aktivis bisnis dan berbagai kegiatan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.” Cukup memberi kesan ketaakjuban dalam bahan makna paragraf tersebut. Menjadi seorang pengusaha muda dari mahasiswa kedokteran gigi Universitas Indonesia hanya dengan bekal suara, sungguh sangat menakjubkan. Pasti pertanyaannya bagaimana bisa dia melakukannya? Hal ini beliau jawab di bagian 12 halaman 83 yang menceritakan mengenai kegiatannya belajar teater di Gothra Athidira dari bahasa sansekerta yang artinya berani dan jujur. Belajar teater dengan diawali “...latihan meditasi. Mengatur napas, mengosongkan pikiran, dan fokus. Mengingat kembali apa yang dikerjakan sejak bangun tidur hingga saat ini...kami pelajari filsafat, yang saat itu tidak dianggap menyeramkan seperti saat ini. Tokoh-tokoh dunia, seperti Friedrich Nietzsche, Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau, Betrand Russel, Sigmond Freud, Max Weber, Goethe, Hegel, Tan Malaka, Arnold Toynbee, Bung Karno, Von Clausewitz, MacIver, Immanuel Kant, Mustafa Kemal Ataturk...”
Banyak hal yang beliau ambil dari teater ini terutama dalam hal filosofi kehidupan yang akhirnya memperkuat ideologinya sendiri. Seperti dalam halaman 93 “Kebijaksanaan sejak dari hati dan pikiran, tidak hanya dari ucapakn. Rasakan, pikirkan, ucapkan, baru tindakan. Bila kita bijak dalam berpikir, maka tindakan tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tapi juga untuk orang lain” kemudian juga dihalaman 101 “Kemampuan mengontrol diri untuk meminimalkan publikasi diri sendiri. Manusia menjadi tinggi karena publikasi, saat sudah begitu rasa sakit saat jatuh menjadi terperi” keindahan pemilihan diksi memberikan kesan yang sangat kuat, dalam dan mencuci otak dalam penilaian karakter CT, hal ini juga lah yang dimaksudkan beliau mengenai modalnya yang hanya bahasa.
Selain hal filosofi kehidupan cara pandangnya terhadap keadaan bangsa bisa dikatakan bisa diacungi jempol walaupun saya juga terkadang berpikir jelas dia sangat memikirkan keadaan bangsa, karena disinilah dia akan berpikir membentuk berbagai usaha-usahanya. Menarik terutama ketika beliau membicarakan mengenai kemiskinan pada halaman 174 “Kemiskinan ini man made, karena struktur ekonomi, politik dan sosial kita yang memproduksi sekelompok kecil orang kaya dan sebagian besar miskin” kemudian tesisnya terhadap penyebab kemiskinan struktural tersebut “...kekuatan yang sudah menguasai aset kemudian bersekutu dengan penguasa politik karena dia bisa membiaya biaya politik penguasa. Penguasa bisa memberikan proteksi, izin-izin, dan berbagai kemudahan kepada yang mempunyai uang. Kemudian terdapat aliansi kelas ata melawan kelas bawah...semakin lama orang akan semakin bergantung dan kemandirian lambat laun akan luntur.”
Selain itu juga beliau memberikan solusi kemiskinan sebagai man made poverty menarik yaitu “penguasaan aset”, beliau mengartikan bahwa setiap masyarakat harus diberi kesempatan dan akses yang sama, kunci pencapaiannya yaitu kebijakan pendidikan berbasis kemanusiaan, membentuk lapisan pengusaha menengah nasionalis kerakyatan berjumlah banyak dengan watak ekonomi kerakyatan dan demokrasi kerakyatan, mengoreksi kepincangan pendidikan kepincangan penguasaan aset ekonomi dan juga kepincangan pendapatan.
Terlalu banyak hal yang menarik untuk dikaji  dan dicermati dari biografi CT ini, tapi cukup menarik jika mengutip sedikit dalam bagian 40 yang merupakan epilog dihalaman 347 “Saya sekarang adalah akumulasi masa lalu” dan dihalaman 354 “Selama 50 tahun perjalanan hidup saya, pengalaman berharga yang saya rasakan adalah saat kita memiliki cita-cita untuk selalu menjadi lebih baik” epilog yang ini untuk sekedar diresapi dan diambil maknanya, bahwa CT bukanlah mesin pemonopoli ekonomi tetapi merupakan pribadi ulet, tangguh, pekerja keras, religius dan pantang menyerah. (G-Mv)

Sabtu, 09 Juni 2012

Memperjanjikan Kewenangan ???

Sabtu, 09 Juni 2012 Pukul 23.57

Beberapa jam yang lalu saya berdiskusi dengan seorang teman di yang berasal dari daerah saya. Dari obrolan ringan hingga kita mendiksuiskan mengenai masalah hukum, masalah kenegaraan lebih tepatnya. Dia mengatakan ada sebuah fenomena yang sedang terjadi di daerah asal kammi. Dalam hitungan bulan daerah asal kami mengadakan pemilukada walikota. Pemilukada merupakan hal yang biasa, menjadi tidak biasa ketika terjadi sebuah fenomena dimana salah satu calon walikota tersebut membuat sebuah perjanjian pembagian kewenangan walikota dan wakil walikota kedalam bentuk sebuah kontrak perjanjian.
Jika dianalisis didalam BW (Burgerlijk Wetboek) atau KUHPerdata didalam pasal 1320 mengenai syarat sahnya perjanjian ada 4; (1) sepakat mereke yang mengikatkan dirinya (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan (3) suatu hal tertentu dan (4) suatu sebab yang halal. Jika dianalisis lebih lanjut mengenai syarat pertama, kesepakatan kedua belah pihak, maksudnya disini kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak. Jika dikaitkan kedalam perjanjian pembagian kewenangan walikota dan wakil walikota merupakan kesepakatan kedua belah pihak.
Syarat kedua mengenai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, asas cakap melakukan perbuatan hukum dapat dimaknai bahwa setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 tahun bagi laki-laki, 16 tahun bagi wanita. Kedua subjek hukum walikota dan wakil walikota sudah memenuhi unsur sebagaimana disebut.
Kemudian ketiga adanya Obyek, sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas. Menjadi pertanyaan mendasar apakah kewenangan dapat diperjanjian didalam kontrak tertulis?. Objek disini dapat berupa hal atau barang yang jelas, jadi bisa dikatakan bahwa objek yang diperjanjikan bisa berupa sesuatu yang nyata dalam bentuk barang maupun sesuatu yang bukan kebendaan dengan syarat hal tersebut diatas sah.
Terakhir keempat adalah adanya kausa yang halal, dalam pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Menjadi kajian juga apakah kewenangan bisa dikategorikan sesuatu yang dilarang atau tidak. Untuk melihat hal tersebut dapat dikaitkan pula dengan teori cara memperoleh wewenang pemerintahan, yang terbagi atas tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat, yaitu:
1.    Atribusi
Menurut istilah hukum, atribusi(attributie) mengandung arti pembagian (kekuasaan), dalam kata attributie van rechsmacht, diartikan sebagai pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute competentie atau kompetensi mutlak), yang merupakan sebagai lawan dari distributie van rechtmacht.[1] Dalam hal ini, pembentuk undang-undang menentukan penguasa pemerintah yang baru dan memberikan kepadanya suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya, baik kepada organ yang sudah ada maupun yang dibentuk pada kesempatan itu.   
2.    Delegasi
Kata delegasi(delegatie) mengandung arti penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuatan hukum. Dengan delegasi, ada penyerahan wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya.[2] Wewenang delegasi(delegatie bevoegdheid), adalah wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Sifat wewenang delegasi adalah pelimpahan yang bersumber dari wewenang atribusi atau undang-undang. Akibat hukum ketika wewenang dijalankan menjadi tanggungjawab penerima delegasi (delegataris), wewenang tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi wewenang, kecuali pemberi wewenang (delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam menjalankan wewenang tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali oleh pemberi delegasi (mandans) dengan berpegang pada asas contrariusactus.
3.    Mandat
Wewenang mandate (mandaat bovoegdheid), adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh perundang-undangan. Ditinjau dari segi tanggungjawab dan tanggung gugat atas wewenang yang dijalankan setiap saat wewenang tersebut dapat digunakan atau ditarik kembali oleh pemberi mandate (mandans)[3]. Pada mandat tidak ada penciptaan ataupun penyerahan wewenang. Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk perwakilan, mandataris berbuat atas nama yang diwakili. Hanya saja pada mandat, mandans tetap berwenang untuk menangani sendiri wewenangnya bila ia menginginkannnya.

Dapat dikatakan bahwa walikota disini memiliki kewenangan delegasi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 melalui Presiden Republik Indonesia yang diberikan lewat Mentri Dalam Negeri. Kewenangan tersebut termasuk untuk mengatur dan juga memberikan mandat kepada bawahannya. Jadi dapat dikaitkan bahwa ketika kewenangan tersebut mengatur mengenai kewenangan hal ini dpat dikategorikan sebagai perjanjian yang memakai suatu sebab yang halal.
Selain hal tersebut ketika dalam menyelesaikan masalah hukum terbentur oleh pengaturan secara hukum yang tidak jelas atau tidak ada yang mengaturnya seperti mengenai wakil walikota yang tidak tercantum didalam UUD 1945, maka dapat kembali kepada norma dasar pembentuknya dan dapat pula menggunakan penafsiran para jurist nya. Bahwa ketika walikota yang diberikan wewenang mengatur pemerintahan maka dia berhak melakukan pembagian tugas kepada bawahannya baik itu berbentuk perjanjian kontrak. Menjadi permasalahan ketika suatu saat walikota atau wakil walikotanya melakukan wanprestasi maka menimbulkan masalah baru. Akan dibawa kemanakah permasalahan wanprestasi perjanjian ini dibawa? Keranah Mahkamah Agungkah atau ada pengadilan lainnya? (G-Mv)



[1] Agusalim Andi  Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, H. 101.
[2] Ibid, H 104.
[3] Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, H. 60.

Kamis, 24 Mei 2012

Analisis Hukum Keuangan Negara (Negara vs BRI vs KUD)


Kamis, 24 Mei 2012 Pukul 15.33
  
A. Kasus Posisi
Koperasi Unit Desa di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara secara berthap telah menerima kredit untuk pengadaan benih padi dan pangan bagi desa dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Pematang Siantar sebesar Rp 260.500.000 (duaratus enampuluh juta limaratus ribu rupiah) untuk kepentingan pengadaan bibit dan benih padi. Kredit tersebut diberikan kepada KUD dengan perjanjian waktu pengembalian.
Berdasarkan hasil musyawarah ditetapkan uang kredit tersebut pengelolaannya diserahkan kepada pengurus KUD. Oleh Pengurus KUD uang tersebut digunakan sebagian untuk membeli tanah untuk membangun kantor KUD dan segala perlengkapannya selama ini KUD belum memilikinya.
Pada saat jatuh tempo, ternyata KUD tidak mampu mengembalikan kredit tersebut ditambah dengan bunga pinjaman, sehingga totalnya berjumlah Rp.280.891.000 (duaratus delapan puluh juta delapanratus satu ribu rupiah). Tim Kredit Macet BRI Pematang Siantar, diupayakan jalan untuk penjadwalan kembali pengembalian kredit dan bunganya tersebut setelah pengurus meminta pengunduran waktunya dengan jaminan tanah dan aset KUD. Tetapi Kejaksaan Negeri Kabupaten Simalungun kemudian mengusut kredit macet tersebut sebagai tindak pidana korupsi karena perbuatan yang dilakukan pengurus KUD merugikan keuangan negara c.q. BRI Cabang Pematang Siantar.
Jaksa Pneuntut Umum menyatakan Pengurus KUD secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu badan hukum, yaitu KUD secara melawan hukum, dengan cara melakukan perbuatan yang menyimpang dari ketentuan penggunaan kredit yang seharusnya membeli bibit dan benih padi, tetapi digunakan untuk membeli tanah, membangun kantor dan perlengkapan kantor. Tindakan tersebut dinyatakan langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan negara c.q. BRI Cabang Pematang Siantar.
Pengadilan Negeri Pematang Siantar dalam putusannya menyatakan hubungan antara debitur yaitu KUD dan kreditur yaitu BRI adalah hubungan keperdataan yang seharusnya diselesaikan dengan cara dan mekanisme perdata. Oleh sebab itu Pengadilan menyatakan kasus tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan menyatakan terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum (ontlag van alle rechtsvervolging).
Kejaksaan Negeri Pematang Siantar kemudian menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung dengan menyatakan alasan kredit bibit dan benih padi berbeda dengan kredit pada umumnya. Dalam putusannya, Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan Pengadilan Negeri Pematang Siantar salah menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan dengan alasan masalah kredit macet apalagi kredit benih dan bibit padi bukanlah hubungan hukum keperdataan sebab mengandung sifat khusus dan kepentingan umum yang harus dilindungi. Oleh sebab itu, jika penggunaan kredit khusus ini menyimpang akan menyebabkan macetnya pengembalian kepada BRI yang berdampak pada kerugian negara.
Mahkamah Agung kemudian memutuskan menyatakan Pengurus KUD bersalah melakukan tindak pidana korupsi, menghukum terdakwa dengan hukuman penjara masing-masing 10 bulan, tetapi memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali para terdakwa bersalah melakukan sesuatu pidana.

B. Analisis Kasus
1. Aspek Hukum
Sebelum masuk lebih dalam kedalam kasus yang akan ditelaan lebih lanjut tersebut. Diperlukan analisis lebih dalam mengenai hubungan Negara, Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Koperasi Unit Desa (KUD) Kabupaten Simalungun. Negara yang dimaksudkan disini dilihat dari sisi kepemilikan Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Kemudian Pasal 2 dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a.       Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b.      Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.       Penerimaan Negara;
d.      Pengeluaran Negara;
e.       Penerimaan Daerah;
f.       Pengeluaran Daerah;
g.      Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
h.      Surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
i.        Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
j.        Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Hubungan Negara dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) disini dihubungkan dengan Keuangan Negara sebagaimana yang dimaksudkan didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai Badan Usaha Milik Negara disini dinyatakan masuk kedalam kategori keuangan negara. Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Namun jika merujuk teori Arifin P. Soeria Atmadja tentang Transformasi Status Hukum Keuangan didalam disertasi dan beberapa makalah yang disampaikannya. Tranformasi status hukum keuangan merupakan suatu essensialisasi ilmuhukum administrasi negara, khususnya hukum keuangan publik.[1] Transformasi keuangan publik ke dalam keuangan privat ini menyatakan adanya batas/ pembedaan yang tegas dalam konsep yang kemudian diterapkan dalam bentuk produk peraturan perundangan yang pada akhirnya akan dijadikan dasar rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul, menurut saya akan menjadi lebih baik karena tidak akan muncul adanya kerancauan dalam penerapan hukumnya. Sehingga tidak akan menimbulkan ditariknya permasalahan di ranah hukum privat dengan penyelesaiannya menggunakan aturan pada ranah hukum publik. Jadi pada prinsipnya hal ini dikembalikan pada ranah hukum masing-masing, masalah pada ranah hukum privat dengan konsep dan kerangka aturan hukum privat, sedangkan masalah pada ranah hukum publik dengan menggunakan kerangka konsep dan aturan pada hukum publik atau istilahnya kembali pada khitah masing-masing.
Dalam perspektif teori tersebut, kedudukan pemerintah dalam BUMN perseroan atau disini dikatakan BRI tidak dapat dikatakan mewakili negara sebagai badan hukum publik. Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, jika dikaitakan dengan dasar logika hukum tersebut, aspek kerugian negara dalam BUMN perseroan yang sahamnya dimiliki negara berarti konsep kerugian negara dalam pengertian merugikan keuangan negara tidak terpenuhi.[2]
Sedangkan Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai badan hukum lainnya disini yang memisahkan dari kekayaan pengurus dan anggota koperasi yang berarti Koperasi bukanlah kekayaan negara atau bukanlah merupakan keuangan negara. Sehingga hubungan Negara dalam Keuangan Negara terhadap BRI sebagai BUMN, negara dalam keuangan negara disini hanyalah saham sebagai bukti modal yang kita setor dan sebagai pemilik perusahaan.
Koperasi Unit Desa di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara mendapatkan kredit berbentuk KMK (Kredit Modal Kerja) untuk pengadaan benih padi dan pangan dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar Rp 260.500.000 (duaratus enampuluh juta limaratus ribu rupiah) dengan perjanjian waktu pengembalian. Namun dalam pelaksanaan pengelolaan uang tersebut bukan digunakan dalam bentuk KMK (Kredit Modal Kerja) tetapi Investasi yang digunakan membeli tanah untuk membangun kantor KUD dan segala perlengkapannya. Sehingga uang yang seharusnya digunakan untuk pengadaan benih padi dan pangan tetapi malah digunakan untuk membeli gedung dan perlengkapan KUD menyebabkan uang yang seharusnya berputar menjadi modal dan menghasilkan keuntungan tidak dapat dapat berputar sehingga menyebabkan KUD tidak mampu mengembalikan kredit ditambah bunga pinjaman yang berjumlah Rp.280.891.000 (duaratus delapan puluh juta delapanratus satu ribu rupiah).
Kasus yang terjadi mengenai kredit macet oleh Koperasi Unit Desa di Kabupaten Simalungun dari Bank Rakyat Indonesia (BRI), jika dianalisis dari keperdataan dan dihubungkan dengan wanprestrasi merupakan hal yang bisa dikatakan salah tanggap. Karena sesuai dengan Bagian Kedua tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian didalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
1320. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. Suatu hal tertentu,
4. Suatu sebab yang halal.

Namun jika melihat posisi kasusnya ternyata Tim Kredit Macet BRI Pematang Siantar telah mengupayakan penjadwalan kembali pengembalian kredit dan bunganya setelah pengurus KUD meminta pengunduran waktu dengan jaminan tanah dan aset KUD. Maka dapat dikaitkan dengan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengenai syarat sahnya suatu perjanjian di poin pertama yaitu ”sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” yang dalam artiannya ketika telah terjadi penjadwalan kembali pengembalian kredit dan bunganya pengurus KUD dengan pihak BRI maka dapat dikatakan tidak ada kaitan lagi mengenai soal perdatanya.
Sehingga Pengadilan Negeri Pematang Siantar tepat ketika menyatakan kasus ini jika dikategorikan keperdataan mengenai hubungan antara debitur yaitu KUD dan kreditur yaitu BRI adalah hubungan keperdataan yang diselesaikan dengan cara dan mekanisme perdata, yang kemudian memutus KUD Kabupaten Simalungun dilepaskan dari tuntutan hukum (ontlag van alle rechtsvervolging). Putusan tersebut tepat karena sesuai jika dihubungkan kedalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengenai syarat sahnya suatu perjanjian di poin pertama yang mengartikan ketika terjadinya penjadwalan kembali pengembalian kredit dan bunganya pengurus KUD dengan pihak BRI, maka tidak ada sengketa hukum perdata disini.
Namun kemudian Kejaksaan Negeri Pematang Siantar melakukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan menyatakan alasan kredit bibit dan benih padi berbeda dengan kredit lain sebagai hubungan keperdataan biasa. Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan Pengadilan Negeri Pematang Siantar salah menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan karena kredit yang diberikan kepada KUD Kabupaten Simalungun mengandung sifat khusus dan kepentingan umum yang harus dilindungi yang jka menyimpang akan menyebabkan macetnya pengembalian kepada BRI yang berdampak pada kerugian negara. Putusan tersebut menghasilkan putusan berupa pernyataan Pengurus KUD Kabupaten Simalungun bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dihukum dengan pidana percobaan masing-masing 10 bulan.
Pertama yang dilihat disini adalah mengenai pemaknaan sifat khusus dan kepentingan umum yang dijadikan dasar Majelis Hakim mengeluarkan putusan tersebut. Kata sifat khusus hanya ada didalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara didalam Pasal 20 yang berbunyi “Dengan memperhatikan sifat khusus masing-masing Persero, Direksi dapat mengangkat seorang sekretaris perusahaan”. Sedangkan di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam Pasal  6 Ayat (1) “Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus...”. Pemaknaan sifat khusus dan sifat umum masih menjadi pertanyaan besar.
Pemaknaan sifat khusus bisa jadi berkaitan dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Pasal 4 ayat (l) undang-undang yang sama menyatakan bahwa “BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Adanya sifat khusus dialam hubungan Negara dengan BRI disinilah yang berkemungkinan besar dikatakan sifat khusus tersebut tapi dengan alasan yang logis banyak menimbulkan panafsiran menyebabkan pengartian sifat khusus disini menjadi sangat rancu.
Betapa luasnya pengertian yang terkandung dalam kepentingan umum itu. Kalau kepentingan umum itu adalah kepentingan masyarakat luas, berapa luaskah? Kalau kepentingan umum itu adalah kepentingan rakyat banyak, berapa banyakkah? Kalau kepentingan umum itu adalah kepentingan Bangsa dan Negara apakah kepentingan umum itu sama dengan kepentingan Pemerintah dan apakah setiap kepentingan Pemerintah adalah kepentingan umum? Sedemikian luasnya pengertian kepentingan umum sehingga segala macam kegiatan dapat dimasukkan dalam kegiatan demi kepentingan umum. Kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi dan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Di dalam masyarakat terdapat banyak sekali kepentingan-kepentingan, baik perorangan maupun kelompok, yang tidak terhitung jumlah maupun jenisnya yang harus dihormati dan dilindungi dan wajarlah kalau setiap orang atau kelompok mengharapkan atau menuntut kepentingan-kepentingannya itu dilindungi dan dipenuhi, yang sudah tentu tidak mungkin dipenuhi semuanya sekaligus, mengingat bahwa kepentingan-kepentingan itu, kecuali banyak yang berbeda banyak pula yang bertentangan satu sama lain. Tidak dapat disangkal bahwa tindakan Pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum, memperhatikan dan melindungi kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Memang itulah tugas Pemerintah, sehingga kepentingan umum merupakan kepentingan atau urusan Pemerintah.[3]
Konsep kepentingan umum; menurut Banfield, adalah jika melayani seluruh masyarakat dari beberapa sektor masyarakat'. Seperti yang telah kita lihat, ada alternatif versi yang mendukung (kepentingan umum), terutama; permintaan mayoritas berdasar teori nilai sosial. Kepentingan public tidak mampu menyelesaikan, namun membantu membedakan potensi relevansi kinerja media penelitian murni dari kelompok, atau individu idiosyncratic poin of view.[4]
Kepentingan umum disini memiliki banyak aspek penalaran, karena pendefenisiannya yang tidak diatur secara jelas dan lugas, sehingga menimbulkan berbagai bias pengertian karena pengkategorian kepentingan umum menjadi dipertanyakan apakah kepentingan umum yang dimaksudkan disini adalah mengenai kepentingan yang dihubungkan dengan keuangan negara dilihat dalam fungsinya sebagai badan pemerintahan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum yang ketika dianggap merugikan negara, maka ketika KUD yang diberikan kredit oleh BRI mengalami kredit macet hal ini dianggap melanggar kepentingan umum. Namun bisa juga pemaknaannya dikaitkan dengan ekonomi yang berhubungan erat dengan masyarakat secara sosial. Kepentingan umum disini bisa jadi berhubungan erat dengan negara yang memberikan modal kepada BRI berupa saham yang dipunyai negara, kemudian BRI yang memberikan kredit kepada KUD, sehingga hubungan yang dihasilkan ketika KUD mengalami kredit dianggap menimbulkan efek domino kerugian kepada BRI yang kemudian berimbas kepada Negara sehingga menyebabkan kepentingan umum terganggu.
Kedua, konsepsi Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memutuskan Pengadilan Negeri Pematang Siantar salah menerapkan hukum sehingga menghasilkan putusan berupa pernyataan Pengurus KUD Kabupaten Simalungun bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dihukum dengan pidana percobaan masing-masing 10 bulan disini memiliki pandangan yang keras terhadap pengkategorian korupsi. Disinipun dapat dilihat dari beberapa aspek hukum.
Jika dilihat berdasarkan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi 1999 telah mengalami kemajuan dibandingkan yang sebelumnya terutama mengenai subyek tindak pidana tidak hanya”orang perseorangan” tetapi juga “korporasi”. Yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (pasal 1 ke-1 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi  1999).
Dikenakannya sanksi pidana/tindakan kepada korporasi dalam perkara korupsi ini cukup beralasan dan sesuai dengan beberapa rekomendasi konggres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain:
1.    Dalam rekomendasi Konggres PBB ke-8/1990 ditegaskan, agar ada tindakan terhadap “perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perkara korupsi”.
2.    Dalam dokumen Konggres PBB ke-9/1995 di Kairo, antara lain ditegaskan sebagai berikut: “Korporasi, asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat dalam penyuapan para pejabat untuk berbagai alasan yang tidak semuanya bersifat ekonomis.
Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana (Mardjono Reksodiputro, 1989:9):
1.    Pengurus korporasi sebagai pembuat maka penguruslah harus bertanggung jawab;
2.    Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab
3.    Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.
Namun perlu ditelaah ulang bagian mana yang dikategorikan tindak pidana. Apakah hubungan Negara dengan BRI atau hubungan BRI ketika memberikan kredit kepada KUD atau hubungan paralel ketiganya?. Harus ditelaah ulang mengenai hubungan tersebut, agar mengetahui bagian mana yang dijadikan dasar pemikiran sehingga kasus ini dikategorikan sebagai tindakan pidana.
Jika ditarik kembali hubungan Negara dalam APBN dengan BRI. BRI meruapakan korporasi sebagai badan hukum memiliki beberapa ciri substantif yang melekat pada dirinya, yakni:[5]
1.      Terbatasnya Tanggung Jawab
Pada dasarnya, para pendiri atau pemegang saham atau anggota suatu korporasi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian atau hutang korporasi. Jika badan usaha itu adalah Perseroan Terbatas (PT), maka tanggungjawab pemegang saham hanya sebatas jumlah maksimum nominal saham yang ia sukai. Selebihnya ia tidak bertanggung jawab.
2.      Perpetual Succession
Sebagai sebuah korporasi yang eksis atas haknya sendiri, perubahan keanggotaan tidak memiliki akibat atas status atau eksistensinya; Bahkan dalam konteks PT, pemegang saham dapat mengalihkan saham yang ia miliki kepada pihak ketiga. Pengalihan tidak menimbulkan masalah kelangsungan perseroan yang bersangkutan. Jika PT yang bersangkutan adalah PT Terbuka dan sahamnya terdaftar di suatu bursa efek (listed), terdapat kebebasan untuk mengalihkan saham tersebut.
3.      Memiliki Kekayaan Sendiri
Semua kekayaan yang ada dimiiki oleh badan itu sendiri, tidak oleh pemilik oleh anggota atau pemegang saham adalah suatu kelabihan utama badan hukum. Dengan demikian, kepemilikan kekayaan tidak didasarkan pada anggota atau pemegang saham.
4.      Memiliki Kewenangan Kontrakual Serta Dapat Menuntut dan Dituntut Atas Nama Dirinya Sendiri
Badan hukum sebagai subjek hukum diperlakukan seperti manusia yang memiliki kewenangan kontraktual. Badan itu dapat mengadakan hubungan kontraktual atas nama dirinya sendiri. Sebagai subjek hukum, badan hukum dapat dituntut dan menuntut di hadapan pengadilan.
Hubungan Negara dalam hal ini APBN dengan BRI melihat konsep diatas maka dapat dikatakan hubungan Negara disini sebatas pemberi modal dalam bentuk saham dan BRI yang menerima modal. Jika alasan Mahkamah Agung menyatakan bahwa yang menjadi dasar putusan pidana tersebut sifat khusus dan kepentingan umum. Dalam sifat khusus sebagaimana analisis awal dalam hubungan APBN sebagai penyerta modal hal ini menjadi rancu penaalarannya, karena jika hubungan kepemilikan ini dalam hal saham maka ini adalah hubungan keperdataan. Kemudian kepentingan umum, jika kepentingan umum disini dalam hubungan negara dan masyarakat maka menjadi salah penafsiran, karena hubungan yang tercipta merupakan hubungan bisnis yang dilepaskan dalam hubungan sosial.
Jika ditelaah dalam hubungan keuangan negara sesuai dengan teori transformasi keuangan negara maka ketika Negara didalam APBN memberikan modalnya atau menyertakan modalnya berbentuk saham di BRI maka lepas sudah hubungan keuangan berbentuk APBN dengan keuangan berbentuk saham. Dengan konsep yang demikian itu, maka ketika negara menyertakan modalnya dalam bentuk saham ke dalam Persero dari kekayaan negara (keuangan negara dalam bentuk kekayaan negara) yang dipisahkan, demi hukum kekayaan itu menjadi kekayaan Persero. Tidak lagi menjadi kekayaan negara. Konsekuensinya, segala kekayaan yang didapat baik melalui penyertaan negara maupun yang diperoleh dari kegiatan bisnis Persero, demi hukum menjadi kekayaan Persero itu sendiri. Maka seperti pengertian korupsi yang didalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiSetiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...”. Maka jika uang dari APBN yang telah bertransformasi kedalam saham di BRI bukan keuangan negara lagi maka jika terjadi masalah tidak bisa dikategorikan tindak pidana korupsi.
Kemudian jika yang dijadikan permasalahan pidana mengenai hubungan BRI dengan KUD dalam pemberian kredit yang kemudian dalam perjalanannya terjadi kredit macet yang diduga dalam pemberian kredit berbentuk KMK (Kredit Modal Kerja) yang seharusnya digunakan untuk pembelian benih dan bibit padi tapi dalam pelaksanaannya digunakan KUD untuk membeli tanah kantor dan perlengkapan padahal seharusnya untuk Investasi. Jika melihat kasus disini, maka yang terjadi bukanlah tindak pidana atau kasus perdata, tapi merupakan masalah adminstrasi. Jika melihat konsep dwaling (salah kira) yang pengartiannya menurut E. Utrecht terjadi bilamana subjek hukum menghendaki sesuatu dan membuat sesuatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu, tetapi kehendak tersebut didasarkan atas suatu bayangan (voorstelling) yang diartikan mengenai pokok maksud pembuat (zelfstandigheid der zaak) tentang suatu hal yang salah.[6] Dilihat dalam hubungan tersebut jelas tidak dapat dikatakan terjadi masalah perdata apalagi jika dimasukkan kedalam kategori tindak pidana terutama korupsi.

2. Aspek Ekonomi, Sosial dan Publik Masyarakat
Jika melihat analisis hukum seperti yang telah dijelaskan diatas dalam kasus yang terjadi mengenai hubungan Negara didalam APBN dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Pematang Siantar terhadap pemberian kredit kepada Koperasi Unit Desa (KUD) Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Didalam kasusnya Kejaksaan Negeri Kabupaten Simalungun mengusut kredit macet tersebut sebagai tindak pidana korupsi karena perbuatan yang dilakukan pengurus KUD merugikan keuangan negara c.q. BRI Cabang Pematang Siantar. Penngadilan negeri Pematang Siantar dalam putusannya menyatakan hubungan antara debitur yaitu KUD dan kreditur yaitu BRI adalah hubungan keperdataan yang seharusnya diselesaikan dengan cara dan mekanisme perdata dan menyatakan KUD dilepaskan dari tuntutan hukum (ontlag van alle rechtsvervolging). Ternyata Tim Kredit Macet BRI Pematang Siantar telah menjadwalkan kembali pengembalian kredit dan bunganya setelah pengurus KUD meminta pengunduran waktu dengan jaminan tanah dan aset KUD, maka sesuailah jika dikaitkan dengan keperdataan bahwa masalah ini selesai dan KUD dinyatakan bebas.
Tapi dalam perjalanannya Kejaksaan Negeri Pematang Siantar melakukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan menyatakan alasan kredit bibit dan benih padi berbeda dengan kredit lain sebagai hubungan keperdataan yang mempunyai unsur kepentingan umum. Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan Pengadilan Negeri Pematang Siantar salah menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan karena kredit yang diberikan kepada KUD Kabupaten Simalungun mengandung sifat khusus dan kepentingan umum yang harus dilindungi yang jka menyimpang akan menyebabkan macetnya pengembalian kepada BRI yang berdampak pada kerugian negara. Pengurus KUD Kabupaten Simalungun dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dihukum dengan pidana percobaan masing-masing 10 bulan.
Megenai analisis hukum sudah diapaparkan diatas, yang menjadi analisis lanjutan jika dilihat dari segi ekonomi. Pertama, jika dihubungkan ekonomi dan keuangan negara. Dilihat dari analisis ekonomi, mengenai pengeluaran didalam Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, perlu dianalis pembedaan pengeluaran (biaya) dengan beban.
Menurut Mulyadi terkait dengan beban dan biaya yang berdasarkan pada periode pemnfaatannya, beliau membedakannya menjadi Capital Expenditure (pengeluaran modal), merupakan biaya yang mempunyai manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Revenue Expenditure (pengeluaran pendapatan), merupakan biaya yang hanya mempunyai manfaat dalam periode akuntansi terjadinya pengeluaran tersebut.[7]
Di pihak lain, istilah biaya (cost) tidaklah sama dengan beban (expense) dan kerugian (lost). Mengenai perbedaan ketiganya dapat diambil dari defenisi Firdasu A. Dunia:[8]
1.      Biaya (cost) adalah pengeluaran-pengeluaran atau nilai pengorbanan untuk memperoleh barang atau jasa yang berguna untuk masa yang akan datang, atau mempunyai manfaat melebihi satu periode akuntansi tahunan.
2.      Beban (expense) merupakan biaya (cost) yang telah memberikan suatu manfaat (expired cost), dan termasuk pula penurunan dalam aktiva atau kenaikan dalam kewajiban sehubungan dengan penyerahan barang dan jasa dalam rangka memperoleh pendapatan, serta pengeluaran-pengeluaran yang hanya memberi manfaat untuk tahun buku yang berjalan. Jika manfaat dari barang atau jasa itu diterima, maka biaya (cost0 menjadi beban (expense) atau dengan kata lain biaya (cost) yang telah habis masa manfaatnya (expired) merupakan beban (expense), sedangkan biaya (cost) yang manfaatnya masih akan diterima (unexpired cost) digolongkan sebagai aktiva (assets).
3.      Kerugian (loss) adalah biaya (cost) yang timbul ketika barang atau jasa diperoleh pada hakikatnya tidak mempunyai nilai sama sekali atau tanpa manfaat apa-apa lagi karena kondisi tertentu.
Teori ekonomi disini mengokong teori hukum dalam transformasi keuangan negara tersebut sekaligus menentang pemahaman pengeluaran didalam Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Maka sekali lagi dikatakan tidak dapat dikategorikan merugikan keuangan negara, dengan dasar pengertian keuangan negara itu sendiri.
Kedua, jika pengkategorian tindak pidana korupsi yang dikaitkan dengan hubungan Bank Rakyat Indonesia (BRI) dalam pemberian kredit KUD hal ini selain berdampak terhadap ekonomi pembangunan juga akan berdampak terhadap sosial dan publik masyarakat. dari segi ekonomi pembangunan, jika disini kasusnya KUD yang melakukan kredit terhadap Bank kemudian kredit macet yang kemudian lagi KUD diberikan sanksi pidana oleh Mahkamah Agung, maka jika ditarik panjang kedepan akan banyak KUD atau malah masyarakat umum sebagai dampak sosial akan berfikir seribu kali untuk melakukan kredit dengan Bank. Jika hal ini terjadi maka dampaknya akan sangat luas, tidak hanya akan membuat kerugian diberbagai Bank tetapi juga akan membuat keguncangan perekonomian Indonesia.


[1]  Op., Cit. Dian Puji N. Simatupang, hlm. 35.
[2] Ibid., hlm. 37
[3] Sudikno Mertokusumo, ”Kepentingan Umum” (Senin, 17 Maret 2008)  di buat di Yogyakarta, 1996 Kertas kerja untuk didiskusikan di Kejaksaan Agung Republik Indonesia
[4] Martin Meyerson, Edward C. Banfield, Politics, planning, and the public interest: the case of public housing in Chicago, Universitas Michigan, 1955
[5] David Kelly, et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London: 2002, hlm. 343.
[6] Op., Cit., E. Utrecht dan Saleh Djindang, hlm. 82.
[7] Ajang Mulyadi, Akuntansi Manajemen, (Bandung: UPI, 2002), hlm. 17.
[8] Firdaus A. Dunia, Akuntansi Biaya Buku I, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1994), hlm. 21.