Kamis, 24 Mei 2012 Pukul 15.17
A. Teori Milik Negara
dan Milik Publik (Staatsdpmein En Publiek
Domein)
Sebelum
masuk kedalam teori keuangan publik sebaiknya membahas mengenai apa yang
dimaksud dengan kepemilikan/kepunyaan publik (domaine public) dan kepemilikan/kepunyaan privat (domaine prive). Seperti subjek hukum
lainnya, badan-badan pemerintahan dapat memiliki kekayaan (Vermogen) seperti tanah, gedung, mobil dinas, kapal, jembatan,
perlabuhan dan sebagainya. Pemerintah dalam menjalankan tugasnya memerlukan
barang miliknya sendiri agar lebih efisien (bermanfaat) daripada menyewa dari
swasta.[1]
Sejak
abad ke-10 terdapat pendapat Proudhon yang secara umum diterima di Prancis dan
beberapa negara lain mengenai kedudukan dari kepunyaan negara itu harus
diadakan pembagian menjadi; kepunyaan publik (domaine public) dan kepunyaan privat (domaine prive). Menurut Proudhon yang termasuk kepunyaan privat
ialah benda-benda kepunyaan negara seperti tanah, rumah dinas bagi pegawai
serta gedung perusahaan negara. Hal yang mengatur kepunyaan privat berbeda dari
hukum yang mengatur kepunyaan perdata biasa (gawone burgelijke eigendom). Yang termasuk kepunyaan publik ialah
segala benda yang disediakan (oleh pemrintah) untuk dipakai [2]
Jadi negara sebagai subjek hukum selain mempunyai kepunyaan publik tapi juga
mempunyai kepunyaan privat sekaligus yang pengaturan kepunyaan privat disini
berbeda dari hukum perdata biasa.
Menurut
beberapa pengarang lain yang termasuk kepunyaan publik adalah segala benda yang
secara langsung dipakai (oleh pemerintah) untuk menyelenggarakan kepentingan
umum, seperti gedung-gedung departemen, gedung-gedung pengadilan, gedung
sekolah negeri dan sebagainya. Tapi kedudukan kepunyaan publik disini sama
sekali tidak dibawah hukum yang mengatur kepunyaan perdata biasa, melainkan
diatur oleh peraturan-peraturan hukum sendiri karena benda-benda kepunyaan
publik tersebut mempunyai kedudukan hukum sendiri yang disebut hukum “domiane public”. Terdapat berbagai
pandangan berbeda mengenai isi kedudukan hukum benda yang termasuk kepunyaan
publik tersebut. Proudhon berpendapat, karena peraturan kepunyaan publik
berbeda dengan pengaturan kepunyaan perdata, maka pemerintah bukan “eigenaar” (yang mempunyai, pemilik)
benda-benda yang termasuk kepunyaan publik, Negara hanya menguasai (beheren) dan melakukan pengawasan (toezichthouden, droit de garde et de
surintendance) atas benda-benda yang termasuk kepunyaan publik.[3]
Pendapat
Proudhon mendapatkan banyak pertentangan, sehingga diabad ke-20 mulai
ditinggalkan. Prof.Vegting berpendapat, bahwa pendapat Proudhon telah
menyimpang dari pendapat tentang hukum telah menyimpang dari sejarah hukum
didalam Code Civil Perancis. Menurut H. Benthelemy hak pemerintah atas
benda-benda yang termasuk kepunyaan publik bersifat “droit degarde et surintendance”. Planiol pengikut Benthelemy
mengemukakan bahwa “domaine public”
tidak lain dari penerusan (voortzetting)
hak yang oleh orang-orang Romawi diakui
diatas res publicae yang
ditempatkan dibawah ex commercium.
Menurut M. Hariou dan A. Lubadere kepunyaan publik itu suatu “propriete administratif”, menurut Marcel
Waline maka negara “eigenaar” dari
benda-benda yang termasuk kepunyaan publik tetapi dalam menjalankan hak-hak
yang oleh KUHPerdata diberi suatu “eigenaar”,
kekuasaan negara itu terbatas saja. Menurut Barckhausen dengan “domaine public” itu tidak pernah
dimaksud suatu tantangan (tegenstelling)
terhadap suatukepunyaan perdata dari negara tetapi hanya suatu “rechtsregiem” yang istimewa, yang hanya
mengatur dapat atau tidak dapat diasingkannya (vervreemdbaarheid) benda-benda yang termasuk kepunyaan publik
seperti semua benda lain maka benda tersebut dapat menjadi objek kepunyaan
privat dari negara. Yurisprudensi di Perancis saat sekarang tetap beranggapan
bahwa negara atas bednda-benda termasuk publik itu bukan hak “propriete”
menurut Code Civil, walaupun hukum privat tidak berlaku bagi kepunyaan publik
namun pengaruh hukum privat tetap teras dalam menjalankan hak-hak mengenai
kepunyaan publik.[4]
Anggapan
Proudhon dibela oleh Thorbecke dan W.C.D.Olivier dari Belanda yang beranggapan
bahwa negara tidak menjadi “eigenaar”
benda-benda yang termasuk kepunyaan publik, seperti yang diatur didalam
KUHPerdata pasal 537 ayat (1) mengenai pokok besit, 1164 ayat (1) mengenai
hipotek, 1332 mengenai pokok perjanjian, serta 1953 mengenai kepunyaan diluar
perniagaan. Benda-benda yang termasuk kepunyaan publik dianggap “benda diluar
perniagaan” (zaken buiten de hendel),
maka dengan sendirinya benda-benda tersebut tidak dapat menjadi pokok hak “eigendom”, jadi negara tidak dapat
menjadi “eigenaar” benda-benda yang
termasuk kepunyaan publik.[5]
Pendapat
tersebut kemudian mendapat kritik tajam dari Mr Von Reeken yang mengemukakan 1)
Benda-benda yang ditujukan kepada penyelenggaraan kepentingan umum, bukan benda
diluar perniagaan, 2) Negara menjadi “eigenaar”
dari benda-benda yang termasuk kepunyaan publik. Hukum privat berlaku juga bagi
benda-benda tersebut asal tidak bertentangan dengan tujuan publiknya sebagai
penggunaan umum (voor het publiek gebruik
bestemd).[6]
E.
Utrect beranggapan sama seperti Prof.Vegting yang dianggap termodern dalam
hukum administrasi negara tentang kedudukan hukum kepunyaan publik, dimana
badan-badan pemerintah adalah pemilik kepunyaan publik dan mempunyai segala
kekuasaan yang oleh hukum diberi kepada suatu pemilik berhubung dengan hak
kepunyaan atas benda pada umumnya. Badan-badan pemerintah ini dapat mengubah
tujuan benda-benda yang termasuk kepunyaan publik, mengasingkannya atau
membebaninya dengan suatu hak kebendaan yang lebih terbatas secara menyeluruh
atau tidak mengubah tujuannya.[7]
B. Keuangan Publik
Keuangan
publik (public finance) memiliki
keterkaitan dengan aspek publik secara umum dan aspek publik secara khusus yang
memiliki keterkaitan dengan negara. Di beberapa negara pemaknaan keuangan
publik secara sempit sebagai keuangan negara atau lebih sempit sebagai anggaran
negara.[8]
Menurut
Soepomo kata publik tidaklah memiliki keterkaitan hanya dengan negar, tetapi
pada segala pertanggungjawaban yang bersifat publik. Akan tetapi, publik
mempunyai karakteristik negara menguasai benda tersebut sebagai suatu sifat
mengatur, dan bukan memiliki. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan
keuangan publik berarti keuangan yang dikuasai negara, tetapi dimiliki tidak
harus negara, tetapi dapat badan hukum perdata atau publik.[9]
David
N. Hymann menyebutkan istilah keuangan publik (public finance) sebagai, “the
field economics that studies government activities and alternative means of
financing government expenditures”. Ini berarti keuanagan publik mempunyai
relevansi dengan anggaran negara dibandingkan sebagai keuangan publik secara
menyeluruh. Keuangan publik hakikatnya bertujuan untuk menganalisis peranan
keuangan negara (pemerintah) melalui anggran negara dan menggunakan alokasi
dana dan manfaat yang digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan negaranya.[10]
Keuangan
publik hakikatnya menunjuk pada dua hal yaitu sektor keuangan yang digunakan
untuk kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder)
dalam lingkungan kuasanya. Atau keuangan yang ditunjukkan pada fungsi
penyelenggaraan pemerintahan umum dan pelayanan umum dan pelayanan pyblik. Bagi
negara berkembang, keberadaan keuangan publik sama halnya dengan administrasi
publik merupakan keharusan sebagaimana dikemukakan Irving Swerdlow yang
mengemukakan, “the importance of adequate
publik administrastion for economic growth was quickly recognized and
emphasized.”[11]
Berdasarkan
pendapat Swerdlow dan Zoller sebenarnya dapat ditarik suatu garis penghubung
keuangan publik memiliki relevansi erat dengan administrasi publik dan hukum
publik. Relevansi terletak pada dua hal, yaitu 1) keuangan publik dijalankan
oleh administrasi publik, sehingga keuangan publik dapat dimaknai sebagai himpunan
peraturan-pertauran tertantu yang menjadi sebab negara melakukan kegiatan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan publik 2)hukum keuangan publik
termasuk kedalam ranah hukum publik karena mengatur perhubungan hukum (rechtbetrekking) yang melahirkan
kekuasaan/weenang (bevoegheid).[12]
Dalam
perkembangan hukum dewasa ini, keuangan publik tidak hanya dimaksudkan pada
fungsi negara untuk melaksanakan dan menyelenggrakan kehendak-kehendak serta
keputusan pemerintah secara nyata dan menyelenggarakan undang-undang yang
ditetapkan pemerintah dalam sektor keuangan, tetapi juga meluas pada kegiatan
yang teratur dan terus menerus melayani kebutuhan dan kepentingan umum yang
menciptakan dan memperoleh pendapatan. Pengertian keuangan terakhir inilah yang
menyebabkan keuangan publik dimaknai sebagai suatu bangunan arsitektur yang
terdiri dari keuangan negara, keuangan daerah, keuangan badan hukum, dan
keuangan subjek hukum pribadi, yang masing-masing karakter hukum (rechtkarakter) dan status hukum (rechtsstatues) yang berbeda yaitu
semakin bersifat publik, akan semakin luas wewenang (autority, gezag) negara, sedangkan semakin privat akan semakin
mengecil wewenang negara.[13]
C.
Keuangan Negara dan Kerugian Negara
dalam Lingkup Korupsi
Perumusan mengenai
keuangan negara dalam penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi yang menyatakan keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karena :[14]
(a) berada dalam
penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik
ditingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam
penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal
negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian
dengan Negara.”
“Kekayaan negara yang
dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara fisik adalah berbentuk
saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) itu. Seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi menurut
Undang-Undang bila seseorang dengan sengaja menggelapkan surat berharga dengan
jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena
jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang
lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). [15]
Pasal 2 menyatakan
Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi, antara
lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah. Saya berpendapat bahwa kekayaan yang dipisahkan
tersebut dalam BUMN dalam lahirnya adalah berbentuk saham yang dimiliki oleh
negara, bukan harta kekayaan BUMN tersebut.
Kerancuan mulai terjadi
dalam penjelasan dalam Undang-undang ini tentang pengertian dan ruang lingkup
keuangan negara yang menyatakan :
“Pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek
sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, san badan lain
yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara
mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek
sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara
meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan
pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang
demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub
bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan.”
Pasal 56 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa dalam waktu lima
bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan
untuk diajukan kepada RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan
tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan
perhitungan laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas
dokumen tersebut. Dengan demikian kerugian yang diderita dalam satu transaksi
tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada
transaksi-transaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga belum
tentu secara otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas, karena mungkin ada
laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari dana cadangan
perusahaan. Dengan demikian tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi
kerugian atau otomatis menjadi kerugian negara. Namun beberapa sidang
pengadilan tindak pidana korupsi telah menuntut terdakwa karena terjadinya
kerugian dari satu atau dua transaksi.[16]
Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).”
(garis bawah dari saya).
Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 (Perubahan Keempat) yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a.
Para penyusun Rancangan Undang-Undang
atau perancang undang-undang memiliki kewajiban mematuhi prinsip Rule of Law.
Sebagai bagian dari kewajiban itu, mereka harus memastikan agar kerangka
rancangan mereka ada kejelasan, ketelitian, dan konsistensi. Tanpa kejelasan
dan ketelitian, undang-undang tidak dapat diprediksi. Prinsip Negara Hukum
menuntut agar sebanyak mungkin orang mengetahui tentang apa yang diperintahkan
kepada mereka berdasarkan undang-undang, hal-hal apa yang diberikan kepada
mereka berdasarkan undang-undang, dan perilaku apa yang mereka harapkan dari
pejabat. Adanya kejelasan dan ketelitian dalam RUU itu sendiri menempatkan
tugas penyusun RUU sebagai dasar dari pemerintahan yang bersih dan pembangunan.
b.
Kewajiban penyusun RUU yang jelas dan teliti
berasal juga dari tuntutan pemerintahan demokrasi yang berupaya mengadakan
reformasi; untuk menggunakan hukum yang mengubah perilaku-perilaku bermasalah
dan dalam pengambilan keputusan secara tidak sepihak. Kedua hal tersebut
menuntut agar menggunakan hukum dalam mendorong perilaku-perilaku yang menjadi
sasaran dari peraturan perundang-undangan – baik warga masyarakat maupun para
pejabat. Dalam pembangunan tugas utama hukum yaitu mengatur perilaku-perilaku,
baik perilaku peran utama maupun dari para pejabat dalam lembaga-lembaga
pelaksanaan (Penegak Hukum).
c.
Demokrasi menuntut kejelasan dan
ketelitian dari para perancang undangundang. Pada prinsipnya, melalui peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh badan pembuat undang-undang yang dipilih
secara demokratis, Rakyat menentukan perilaku penguasa. Prinsip Negara Hukum
akan runtuh apabila para pejabat yang menjadi sasarannya para hakim dan penegak
hukum lainnya tidak mematuhi hukum. Tanpa itu demokrasi berada dalam posisi
yang sangat lemah. Para perancang undang-undang wajib memastikan agar RUU
mereka mendorong perilaku-perilaku pejabat yang diinginkan, karena sesuai
dengan prinsip Negara Hukum (Rule of Law), yaitu pemerintahan harus
berdasarkan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 :
“Negara Indonesia adalah negara hukum”.
d.
Untuk memastikan bahwa prediksi dapat dibuat,
guna mendorong adanya perilaku yang sesuai dengan pemerintahan yang bersih, dan
memastikan bahwa khususnya para pejabat pemerintah mematuhi ketentuan-ketentuan
dalam undang-undang, serta para pihak yang dituju undang-undang memiliki akses
yang mudah terhadap isi dari undang-undang yang bersangkutan. Sebagai syarat
pertama dari kemudahan untuk memperoleh akses, kerangka undang-undang –
pengungkapan dari strukturnya secara keseluruhan, perincian tentang siapa
melakukan apa, serta kejelasan, ketelitian dan konsistensi kalimat-kalimat
dalam undang-undang sehingga memberikan kepastian bagi para pihak yang dituju
tentang kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum. Untuk memastikan bahwa
prediksi dapat dibuat, dan memastikan agar undang-undang sesungguhnya mendorong
perilaku-perilaku yang diinginkan baik untuk mencapai pembangunan maupun
pengambilan keputusan tidak secara sepihak, dan untuk melindungi pengendalian
demokratis terhadap pemerintah, maka para penyusun RUU harus mampu menghasilkan
undang-undang yang terperinci, teliti, jelas dan dapat diakses.
e.
Pasal 2 ayat (1) yang memuat kalimat :
“... yang dapat merugikan keuangan Negara ...”, menggunakan kata-kata yang
samar-samar. Bagaimana hukum harus ditetapkan atau hukuman dijatuhkan
berdasarkan suatu peristiwa yang belum terjadi, belum tentu terjadi atau
mungkin tidak terjadi. Kata-kata “... yang dapat merugikan keuangan Negara
...”, pada prakteknya kata-kata ini dapat berarti apa saja sesuai dengan
pilihan pembacanya. Bagaimana besar akibatnya bagi tersangka yang dijatuhi
hukuman berdasarkan kata-kata di atas, tetapi ternyata kemudian kerugian Negara
itu tidak terjadi. Ketika sebuah kasus dibawa ke pengadilan, hal tersebut secara
implisit memberikan wewenang kepada hakim untuk merumuskan peraturan-peraturan
terperinci yang diperlukan. Ketidakpastian kata-kata demikian tentu saja tidak
diinginkan. Membuat RUU yang samar-samar adalah tidak baik, sebuah istilah yang
samar-samar memberikan kewenangan kepada setiap pejabat yang melaksanakan
undang-undang tersebut, secara tanpa batas. Hal ini dapat menimbulkan apa yang
disebut “Judicial Dictatorship” yang tentu saja bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.
Mahkamah Konstitusi
memutuskan dalam yudicial review Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.
31 Tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Isi penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 adalah :
“Yang dimaksud dengan secara melawan
hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun
dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”
Setidaknya ada tiga
syarat, agar hukum dapat berperanan mendorong jalannya perekonomian bangsa,
yaitu hukum harus dapat menciptakan “predictability”, “stability”
dan “fairness”. Pertama, undang-undang dan pelaksanaannya harus bisa
menciptakan “predictability” atau kepastian. Beberapa undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya ditafsirkan menurut siapa yang membacanya telah
mendatangkan ketidakpastian bahkan kekhawatiran bagi pelaku ekonomi. Kedua,
undang-undang sebagai salah satu sumber hukum harus bisa menciptakan “stability”
(stabilitas), yaitu dapat mengakomodir kepentingankepentingan yang saling
bersaing di masyarakat, antara lain, yaitu kepentingan untuk memberantas
korupsi dan kepentingan untuk mendapat kepastian hukum. Ketiga, undang-undang
sebagai salah satu sumber hukum harus bisa menciptakan “fairness”
(keadilan). Beberapa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya serta
penerapannya tidak mendatangkan keadilan.
[1] E. Utrecht dan Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 9, (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1990), hlm. 189.
[8] Donald P. Moynihan “Citizen
Participation in Budgeting: Prospects for Developing Countries”, Andwar Shah
(ed.), from Participatory Budgeting
(Washington D.C: The World Bank, 2007) P. 55. Dalam Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup
Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta:
badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 210.
[10] David N. Hyman. Public Finance: A Contemporary Application
of Theory to Policy (Mason: South-Western, 2008),p. 29. Dalam Dian Puji N.
Simatupang. Paradoks Rasionalitas
Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah. (Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 213.
[11] Irving Swedlow, The Public Administration of Economic
Development (New York: Praeger Publisher, 1975),p. 235. Dalam Dian Puji N.
Simatupang. Paradoks Rasionalitas
Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah. (Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 214.
[13] Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang
Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta:
badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 215.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar