Tema yang cukup menarik, jika kita menarik mengenai kedua hal tersebut. Pernahkah kita memikirkan kedua kata tersebut punya cerminan artian yang sama di masyarakat. Tapi sebenarnya pemaknaan kedua hal tersebut ternyata secara artian harpiah kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keduanya berbeda.
Demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga indonesia. Sedangkan Musyawarah merupakan pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah;perundingan; perembukan.
Berbeda ataukah sama????
Dunia Hukum
Rabu, 27 Februari 2013
Minggu, 23 September 2012
HUKUM KEHIDUPAN CHAIRUL TANJUNG
Sabtu, 22 September 2012 Pukul 20.07
Meresensi buku bukanlah keahlian saya,
tapi selain setiap kali membaca buku-buku biografi tokoh-tokoh besar dunia,
saya selalu berniat untuk menuliskan kesan yang saya tangkap dari bacaan
tersebut. Buku ini merupakan buku kali keberapa yang saya baca terutama
mengenai biografi atau kehidupan seseorang. Banyak buku yang telah saya baca
dalam kategori biografi, tetapi itu rata-rata merupakan biografi para tokoh
yang berasal dari luar Indonesia, saya sebut saja Hillary Clinton seorang
wanita yang punya karakter kuat dalam hal kepemimpinan negara membuat saya
terpukau, kemudian Steve Jobs biografi seorang penggagas sekaligus manajer
handal dibidang tekhnologi yang sangat terkenal seantero dunia. Buku yang saat
ini sangat ingin saya tulis untuk dikenang dan saya hayati merupakan tokoh yang
berasal dari dunia bisnis, namanya adalah Chairul Tanjung. Namanya sangat
Indonesia, Tanjung merupakan marga dari Sumatera Utara yang asli Indonesia.
Saya mulai mengingat nama Chairil
Tanjung ketika pada suatu waktu saya diberi tahu bahwa pemilik Bandung Super
Mall adalah CT, kemudian Trans TV, Trans7, Barkin and Robbin, Carrefour, Bank
Mega, dan banyak perusahan dibidang perkebunan dan lain sebagainya. Saya berpikir
pada awalnya orang ini pasti sangatlah kaya, liberal, tidak berhati, penguasa,
dan berbagai kata yang bisa dikelompokkan sebagai pembawa sifat jahat. Namun setelah
saya membaca biografinya, sejarah hidup serta perjuangannya, saya paling tidak
sudah terpengaruh bahwa ternyata CT merupakan pengusaha yang tidak hanya
mementingkan diri sendiri tetapi juga bangsa. Walaupun kedepan saya juga tidak
bisa memprediksi beberapa hal yang tertulis akankah kebenaran atau hanyalah
sebuah kamuflase untuk sebuah tujuan yang saya anggap menjijikkan.
Di bagian ke 6 halaman 32 saya mengutup
satu paragraf “Modal saya hanya suara,
tanpa sedikit pun niat menjatuhkan siapa pun...Oleh karena itu, saya bisa
melakukan kegiatan di perguruan tinggi sekaligus aktivis bisnis dan berbagai
kegiatan organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.” Cukup memberi kesan
ketaakjuban dalam bahan makna paragraf tersebut. Menjadi seorang pengusaha muda
dari mahasiswa kedokteran gigi Universitas Indonesia hanya dengan bekal suara,
sungguh sangat menakjubkan. Pasti pertanyaannya bagaimana bisa dia
melakukannya? Hal ini beliau jawab di bagian 12 halaman 83 yang menceritakan
mengenai kegiatannya belajar teater di Gothra Athidira dari bahasa sansekerta
yang artinya berani dan jujur. Belajar teater dengan diawali “...latihan meditasi. Mengatur napas,
mengosongkan pikiran, dan fokus. Mengingat kembali apa yang dikerjakan sejak
bangun tidur hingga saat ini...kami pelajari filsafat, yang saat itu tidak
dianggap menyeramkan seperti saat ini. Tokoh-tokoh dunia, seperti Friedrich
Nietzsche, Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau, Betrand Russel, Sigmond Freud,
Max Weber, Goethe, Hegel, Tan Malaka, Arnold Toynbee, Bung Karno, Von
Clausewitz, MacIver, Immanuel Kant, Mustafa Kemal Ataturk...”
Banyak hal yang beliau ambil dari teater
ini terutama dalam hal filosofi kehidupan yang akhirnya memperkuat ideologinya
sendiri. Seperti dalam halaman 93 “Kebijaksanaan
sejak dari hati dan pikiran, tidak hanya dari ucapakn. Rasakan, pikirkan,
ucapkan, baru tindakan. Bila kita bijak dalam berpikir, maka tindakan tidak
hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tapi juga untuk orang lain” kemudian
juga dihalaman 101 “Kemampuan mengontrol
diri untuk meminimalkan publikasi diri sendiri. Manusia menjadi tinggi karena
publikasi, saat sudah begitu rasa sakit saat jatuh menjadi terperi”
keindahan pemilihan diksi memberikan kesan yang sangat kuat, dalam dan mencuci
otak dalam penilaian karakter CT, hal ini juga lah yang dimaksudkan beliau
mengenai modalnya yang hanya bahasa.
Selain hal filosofi kehidupan cara
pandangnya terhadap keadaan bangsa bisa dikatakan bisa diacungi jempol walaupun
saya juga terkadang berpikir jelas dia sangat memikirkan keadaan bangsa, karena
disinilah dia akan berpikir membentuk berbagai usaha-usahanya. Menarik terutama
ketika beliau membicarakan mengenai kemiskinan pada halaman 174 “Kemiskinan ini man made, karena struktur
ekonomi, politik dan sosial kita yang memproduksi sekelompok kecil orang kaya
dan sebagian besar miskin” kemudian tesisnya terhadap penyebab kemiskinan
struktural tersebut “...kekuatan yang
sudah menguasai aset kemudian bersekutu dengan penguasa politik karena dia bisa
membiaya biaya politik penguasa. Penguasa bisa memberikan proteksi, izin-izin,
dan berbagai kemudahan kepada yang mempunyai uang. Kemudian terdapat aliansi
kelas ata melawan kelas bawah...semakin lama orang akan semakin bergantung dan
kemandirian lambat laun akan luntur.”
Selain itu juga beliau memberikan solusi
kemiskinan sebagai man made poverty menarik
yaitu “penguasaan aset”, beliau mengartikan bahwa setiap masyarakat harus
diberi kesempatan dan akses yang sama, kunci pencapaiannya yaitu kebijakan pendidikan berbasis kemanusiaan, membentuk
lapisan pengusaha menengah nasionalis
kerakyatan berjumlah banyak dengan watak ekonomi kerakyatan dan demokrasi
kerakyatan, mengoreksi kepincangan pendidikan kepincangan penguasaan aset
ekonomi dan juga kepincangan pendapatan.
Terlalu banyak hal yang menarik untuk
dikaji dan dicermati dari biografi CT
ini, tapi cukup menarik jika mengutip sedikit dalam bagian 40 yang merupakan
epilog dihalaman 347 “Saya sekarang
adalah akumulasi masa lalu” dan dihalaman 354 “Selama 50 tahun perjalanan hidup saya, pengalaman berharga yang saya
rasakan adalah saat kita memiliki cita-cita untuk selalu menjadi lebih baik” epilog yang ini untuk sekedar diresapi dan diambil maknanya, bahwa CT bukanlah
mesin pemonopoli ekonomi tetapi merupakan pribadi ulet, tangguh, pekerja keras,
religius dan pantang menyerah. (G-Mv)
Sabtu, 09 Juni 2012
Memperjanjikan Kewenangan ???
Sabtu,
09 Juni 2012 Pukul 23.57
Beberapa jam yang lalu
saya berdiskusi dengan seorang teman di yang berasal dari daerah saya. Dari obrolan
ringan hingga kita mendiksuiskan mengenai masalah hukum, masalah kenegaraan
lebih tepatnya. Dia mengatakan ada sebuah fenomena yang sedang terjadi di
daerah asal kammi. Dalam hitungan bulan daerah asal kami mengadakan pemilukada
walikota. Pemilukada merupakan hal yang biasa, menjadi tidak biasa ketika
terjadi sebuah fenomena dimana salah satu calon walikota tersebut membuat sebuah
perjanjian pembagian kewenangan walikota dan wakil walikota kedalam bentuk sebuah
kontrak perjanjian.
Jika dianalisis didalam
BW (Burgerlijk Wetboek) atau
KUHPerdata didalam pasal 1320 mengenai syarat sahnya perjanjian ada 4; (1)
sepakat mereke yang mengikatkan dirinya (2) kecakapan untuk membuat suatu
perikatan (3) suatu hal tertentu dan (4) suatu sebab yang halal. Jika dianalisis
lebih lanjut mengenai syarat pertama, kesepakatan kedua belah pihak, maksudnya
disini kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang
pokok dalam kontrak. Jika dikaitkan kedalam perjanjian pembagian kewenangan
walikota dan wakil walikota merupakan kesepakatan kedua belah pihak.
Syarat kedua mengenai kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum, asas cakap
melakukan perbuatan hukum dapat dimaknai bahwa setiap orang yang sudah dewasa
dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut
KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan
menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 tahun bagi
laki-laki, 16 tahun bagi wanita. Kedua subjek hukum walikota dan wakil walikota
sudah memenuhi unsur sebagaimana disebut.
Kemudian ketiga adanya
Obyek, sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal
atau barang yang cukup jelas. Menjadi pertanyaan mendasar apakah kewenangan
dapat diperjanjian didalam kontrak tertulis?. Objek disini dapat berupa hal
atau barang yang jelas, jadi bisa dikatakan bahwa objek yang diperjanjikan bisa
berupa sesuatu yang nyata dalam bentuk barang maupun sesuatu yang bukan
kebendaan dengan syarat hal tersebut diatas sah.
Terakhir keempat adalah
adanya kausa yang halal, dalam pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang
tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Menjadi kajian juga apakah
kewenangan bisa dikategorikan sesuatu yang dilarang atau tidak. Untuk melihat
hal tersebut dapat dikaitkan pula dengan teori cara memperoleh wewenang pemerintahan,
yang terbagi atas tiga cara, yaitu
atribusi, delegasi, dan mandat, yaitu:
1.
Atribusi
Menurut istilah
hukum, atribusi(attributie) mengandung arti pembagian
(kekuasaan), dalam kata attributie van rechsmacht,
diartikan sebagai pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute
competentie atau kompetensi mutlak), yang merupakan sebagai lawan dari distributie
van rechtmacht.[1]
Dalam hal ini, pembentuk undang-undang menentukan penguasa pemerintah yang baru
dan memberikan kepadanya suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya, baik
kepada organ yang sudah ada maupun yang dibentuk pada kesempatan itu.
2.
Delegasi
Kata delegasi(delegatie)
mengandung arti penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang
lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain dengan
atau berdasarkan kekuatan hukum. Dengan delegasi, ada penyerahan wewenang dari
badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat
pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya.[2]
Wewenang delegasi(delegatie bevoegdheid), adalah
wewenang yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ
pemerintahan yang lain. Sifat wewenang delegasi adalah pelimpahan yang
bersumber dari wewenang atribusi atau undang-undang. Akibat hukum ketika wewenang dijalankan menjadi
tanggungjawab penerima delegasi (delegataris),
wewenang tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi wewenang, kecuali
pemberi wewenang (delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam
menjalankan wewenang tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali oleh pemberi
delegasi (mandans) dengan berpegang pada asas contrariusactus.
3.
Mandat
Wewenang mandate
(mandaat bovoegdheid),
adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara
bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh perundang-undangan.
Ditinjau dari segi tanggungjawab dan tanggung gugat atas wewenang yang dijalankan
setiap saat wewenang tersebut dapat digunakan atau
ditarik kembali oleh pemberi mandate
(mandans)[3].
Pada mandat tidak ada penciptaan ataupun penyerahan
wewenang. Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk perwakilan, mandataris berbuat
atas nama yang diwakili. Hanya saja pada mandat, mandans tetap berwenang untuk menangani sendiri wewenangnya bila ia
menginginkannnya.
Dapat dikatakan bahwa
walikota disini memiliki kewenangan delegasi yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar 1945 melalui Presiden Republik Indonesia yang diberikan lewat Mentri Dalam
Negeri. Kewenangan tersebut termasuk untuk mengatur dan juga memberikan mandat
kepada bawahannya. Jadi dapat dikaitkan bahwa ketika kewenangan tersebut
mengatur mengenai kewenangan hal ini dpat dikategorikan sebagai perjanjian yang
memakai suatu sebab yang halal.
Selain hal tersebut
ketika dalam menyelesaikan masalah hukum terbentur oleh pengaturan secara hukum
yang tidak jelas atau tidak ada yang mengaturnya seperti mengenai wakil
walikota yang tidak tercantum didalam UUD 1945, maka dapat kembali kepada norma
dasar pembentuknya dan dapat pula menggunakan penafsiran para jurist nya. Bahwa ketika walikota yang
diberikan wewenang mengatur pemerintahan maka dia berhak melakukan pembagian
tugas kepada bawahannya baik itu berbentuk perjanjian kontrak. Menjadi permasalahan
ketika suatu saat walikota atau wakil walikotanya melakukan wanprestasi maka menimbulkan masalah
baru. Akan dibawa kemanakah permasalahan wanprestasi perjanjian ini dibawa? Keranah
Mahkamah Agungkah atau ada pengadilan lainnya? (G-Mv)
Kamis, 24 Mei 2012
Analisis Hukum Keuangan Negara (Negara vs BRI vs KUD)
Kamis, 24 Mei 2012 Pukul 15.33
A. Kasus Posisi
Koperasi
Unit Desa di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara secara berthap telah menerima
kredit untuk pengadaan benih padi dan pangan bagi desa dari Bank Rakyat
Indonesia (BRI) Cabang Pematang Siantar sebesar Rp 260.500.000 (duaratus
enampuluh juta limaratus ribu rupiah) untuk kepentingan pengadaan bibit dan
benih padi. Kredit tersebut diberikan kepada KUD dengan perjanjian waktu
pengembalian.
Berdasarkan
hasil musyawarah ditetapkan uang kredit tersebut pengelolaannya diserahkan
kepada pengurus KUD. Oleh Pengurus KUD uang tersebut digunakan sebagian untuk
membeli tanah untuk membangun kantor KUD dan segala perlengkapannya selama ini
KUD belum memilikinya.
Pada
saat jatuh tempo, ternyata KUD tidak mampu mengembalikan kredit tersebut
ditambah dengan bunga pinjaman, sehingga totalnya berjumlah Rp.280.891.000
(duaratus delapan puluh juta delapanratus satu ribu rupiah). Tim Kredit Macet
BRI Pematang Siantar, diupayakan jalan untuk penjadwalan kembali pengembalian
kredit dan bunganya tersebut setelah pengurus meminta pengunduran waktunya
dengan jaminan tanah dan aset KUD. Tetapi Kejaksaan Negeri Kabupaten Simalungun
kemudian mengusut kredit macet tersebut sebagai tindak pidana korupsi karena
perbuatan yang dilakukan pengurus KUD merugikan keuangan negara c.q. BRI Cabang
Pematang Siantar.
Jaksa
Pneuntut Umum menyatakan Pengurus KUD secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu badan hukum, yaitu KUD
secara melawan hukum, dengan cara melakukan perbuatan yang menyimpang dari
ketentuan penggunaan kredit yang seharusnya membeli bibit dan benih padi,
tetapi digunakan untuk membeli tanah, membangun kantor dan perlengkapan kantor.
Tindakan tersebut dinyatakan langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan
negara c.q. BRI Cabang Pematang Siantar.
Pengadilan
Negeri Pematang Siantar dalam putusannya menyatakan hubungan antara debitur
yaitu KUD dan kreditur yaitu BRI adalah hubungan keperdataan yang seharusnya
diselesaikan dengan cara dan mekanisme perdata. Oleh sebab itu Pengadilan
menyatakan kasus tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, dan menyatakan
terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum (ontlag
van alle rechtsvervolging).
Kejaksaan
Negeri Pematang Siantar kemudian menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung dengan
menyatakan alasan kredit bibit dan benih padi berbeda dengan kredit pada
umumnya. Dalam putusannya, Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan Pengadilan
Negeri Pematang Siantar salah menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan dengan
alasan masalah kredit macet apalagi kredit benih dan bibit padi bukanlah
hubungan hukum keperdataan sebab mengandung sifat khusus dan kepentingan umum
yang harus dilindungi. Oleh sebab itu, jika penggunaan kredit khusus ini
menyimpang akan menyebabkan macetnya pengembalian kepada BRI yang berdampak
pada kerugian negara.
Mahkamah
Agung kemudian memutuskan menyatakan Pengurus KUD bersalah melakukan tindak
pidana korupsi, menghukum terdakwa dengan hukuman penjara masing-masing 10
bulan, tetapi memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali para
terdakwa bersalah melakukan sesuatu pidana.
B. Analisis Kasus
1. Aspek Hukum
Sebelum
masuk lebih dalam kedalam kasus yang akan ditelaan lebih lanjut tersebut.
Diperlukan analisis lebih dalam mengenai hubungan Negara, Bank Rakyat Indonesia
(BRI) dan Koperasi Unit Desa (KUD) Kabupaten Simalungun. Negara yang
dimaksudkan disini dilihat dari sisi kepemilikan Keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara,
Keuangan
Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Kemudian
Pasal 2 dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Keuangan
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a. Hak
negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman;
b. Kewajiban
negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan
Negara;
d. Pengeluaran
Negara;
e. Penerimaan
Daerah;
f. Pengeluaran
Daerah;
g. Kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
h. Surat
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
i.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan
umum;
j.
Kekayaan pihak lain yang diperoleh
dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Hubungan
Negara dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) disini dihubungkan dengan Keuangan
Negara sebagaimana yang dimaksudkan didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai Badan Usaha Milik
Negara disini dinyatakan masuk kedalam kategori keuangan negara. Pasal 1 ayat
(2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa
Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang
berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh
atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara
Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Namun
jika merujuk teori Arifin P. Soeria Atmadja tentang Transformasi Status Hukum
Keuangan didalam disertasi dan beberapa makalah yang disampaikannya.
Tranformasi status hukum keuangan merupakan suatu essensialisasi ilmuhukum
administrasi negara, khususnya hukum keuangan publik.[1]
Transformasi keuangan publik ke dalam keuangan privat ini menyatakan adanya
batas/ pembedaan yang tegas dalam konsep yang kemudian diterapkan dalam bentuk
produk peraturan perundangan yang pada akhirnya akan dijadikan dasar rujukan
dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul, menurut saya akan menjadi lebih
baik karena tidak akan muncul adanya kerancauan dalam penerapan hukumnya.
Sehingga tidak akan menimbulkan ditariknya permasalahan di ranah hukum privat
dengan penyelesaiannya menggunakan aturan pada ranah hukum publik. Jadi pada
prinsipnya hal ini dikembalikan pada ranah hukum masing-masing, masalah pada
ranah hukum privat dengan konsep dan kerangka aturan hukum privat, sedangkan
masalah pada ranah hukum publik dengan menggunakan kerangka konsep dan aturan
pada hukum publik atau istilahnya kembali pada khitah masing-masing.
Dalam
perspektif teori tersebut, kedudukan pemerintah dalam BUMN perseroan atau
disini dikatakan BRI tidak dapat dikatakan mewakili negara sebagai badan hukum
publik. Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, jika dikaitakan dengan dasar logika
hukum tersebut, aspek kerugian negara dalam BUMN perseroan yang sahamnya
dimiliki negara berarti konsep kerugian negara dalam pengertian merugikan
keuangan negara tidak terpenuhi.[2]
Sedangkan
Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai badan hukum lainnya disini yang memisahkan
dari kekayaan pengurus dan anggota koperasi yang berarti Koperasi bukanlah
kekayaan negara atau bukanlah merupakan keuangan negara. Sehingga hubungan
Negara dalam Keuangan Negara terhadap BRI sebagai BUMN, negara dalam keuangan
negara disini hanyalah saham sebagai bukti modal yang kita setor dan sebagai
pemilik perusahaan.
Koperasi
Unit Desa di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara mendapatkan kredit berbentuk
KMK (Kredit Modal Kerja) untuk pengadaan benih padi dan pangan dari Bank Rakyat
Indonesia (BRI) sebesar Rp 260.500.000 (duaratus enampuluh juta limaratus ribu
rupiah) dengan perjanjian waktu pengembalian. Namun dalam pelaksanaan
pengelolaan uang tersebut bukan digunakan dalam bentuk KMK (Kredit Modal Kerja)
tetapi Investasi yang digunakan membeli tanah untuk membangun kantor KUD dan
segala perlengkapannya. Sehingga uang yang seharusnya digunakan untuk pengadaan
benih padi dan pangan tetapi malah digunakan untuk membeli gedung dan
perlengkapan KUD menyebabkan uang yang seharusnya berputar menjadi modal dan
menghasilkan keuntungan tidak dapat dapat berputar sehingga menyebabkan KUD
tidak mampu mengembalikan kredit ditambah bunga pinjaman yang berjumlah
Rp.280.891.000 (duaratus delapan puluh juta delapanratus satu ribu rupiah).
Kasus
yang terjadi mengenai kredit macet oleh Koperasi Unit Desa di Kabupaten
Simalungun dari Bank Rakyat Indonesia (BRI), jika dianalisis dari keperdataan
dan dihubungkan dengan wanprestrasi merupakan hal yang bisa dikatakan salah
tanggap. Karena sesuai dengan Bagian Kedua tentang syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian didalam pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek)
1320.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3.
Suatu hal tertentu,
4.
Suatu sebab yang halal.
Namun
jika melihat posisi kasusnya ternyata Tim Kredit Macet BRI Pematang Siantar
telah mengupayakan penjadwalan kembali pengembalian kredit dan bunganya setelah
pengurus KUD meminta pengunduran waktu dengan jaminan tanah dan aset KUD. Maka
dapat dikaitkan dengan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengenai syarat
sahnya suatu perjanjian di poin pertama yaitu ”sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” yang dalam artiannya
ketika telah terjadi penjadwalan kembali pengembalian kredit dan bunganya
pengurus KUD dengan pihak BRI maka dapat dikatakan tidak ada kaitan lagi
mengenai soal perdatanya.
Sehingga
Pengadilan Negeri Pematang Siantar tepat ketika menyatakan kasus ini jika
dikategorikan keperdataan mengenai hubungan antara debitur yaitu KUD dan
kreditur yaitu BRI adalah hubungan keperdataan yang diselesaikan dengan cara
dan mekanisme perdata, yang kemudian memutus KUD Kabupaten Simalungun
dilepaskan dari tuntutan hukum (ontlag
van alle rechtsvervolging). Putusan tersebut tepat karena sesuai jika
dihubungkan kedalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengenai syarat
sahnya suatu perjanjian di poin pertama yang mengartikan ketika terjadinya
penjadwalan kembali pengembalian kredit dan bunganya pengurus KUD dengan pihak
BRI, maka tidak ada sengketa hukum perdata disini.
Namun
kemudian Kejaksaan Negeri Pematang Siantar melakukan kasasi ke Mahkamah Agung
dengan menyatakan alasan kredit bibit dan benih padi berbeda dengan kredit lain
sebagai hubungan keperdataan biasa. Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan
Pengadilan Negeri Pematang Siantar salah menerapkan hukum, sehingga harus
dibatalkan karena kredit yang diberikan kepada KUD Kabupaten Simalungun
mengandung sifat khusus dan kepentingan umum yang harus dilindungi yang jka
menyimpang akan menyebabkan macetnya pengembalian kepada BRI yang berdampak
pada kerugian negara. Putusan tersebut menghasilkan putusan berupa pernyataan Pengurus
KUD Kabupaten Simalungun bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dihukum
dengan pidana percobaan masing-masing 10 bulan.
Pertama
yang dilihat disini adalah mengenai pemaknaan sifat khusus dan kepentingan umum
yang dijadikan dasar Majelis Hakim mengeluarkan putusan tersebut. Kata sifat
khusus hanya ada didalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara didalam Pasal 20 yang berbunyi “Dengan memperhatikan sifat khusus
masing-masing Persero, Direksi dapat mengangkat seorang sekretaris perusahaan”.
Sedangkan di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam
Pasal 6 Ayat (1) “Kekuasaan pengelolaan
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus...”. Pemaknaan sifat
khusus dan sifat umum masih menjadi pertanyaan besar.
Pemaknaan
sifat khusus bisa jadi berkaitan dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara.
“Badan
Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Pasal 4
ayat (l) undang-undang yang sama menyatakan bahwa “BUMN merupakan dan berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)
tersebut dikatakan bahwa “Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan
kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan
penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya
tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun
pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang
sehat”. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang
khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan
negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan
pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada
prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Adanya sifat khusus dialam hubungan
Negara dengan BRI disinilah yang berkemungkinan besar dikatakan sifat khusus
tersebut tapi dengan alasan yang logis banyak menimbulkan panafsiran
menyebabkan pengartian sifat khusus disini menjadi sangat rancu.
Betapa
luasnya pengertian yang terkandung dalam kepentingan umum itu. Kalau
kepentingan umum itu adalah kepentingan masyarakat luas, berapa luaskah? Kalau
kepentingan umum itu adalah kepentingan rakyat banyak, berapa banyakkah? Kalau
kepentingan umum itu adalah kepentingan Bangsa dan Negara apakah kepentingan
umum itu sama dengan kepentingan Pemerintah dan apakah setiap kepentingan
Pemerintah adalah kepentingan umum? Sedemikian luasnya pengertian kepentingan
umum sehingga segala macam kegiatan dapat dimasukkan dalam kegiatan demi kepentingan
umum. Kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan
untuk dipenuhi dan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan
dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Di dalam masyarakat terdapat
banyak sekali kepentingan-kepentingan, baik perorangan maupun kelompok, yang
tidak terhitung jumlah maupun jenisnya yang harus dihormati dan dilindungi dan
wajarlah kalau setiap orang atau kelompok mengharapkan atau menuntut
kepentingan-kepentingannya itu dilindungi dan dipenuhi, yang sudah tentu tidak
mungkin dipenuhi semuanya sekaligus, mengingat bahwa kepentingan-kepentingan
itu, kecuali banyak yang berbeda banyak pula yang bertentangan satu sama lain.
Tidak dapat disangkal bahwa tindakan Pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan
umum, memperhatikan dan melindungi kepentingan orang banyak (kepentingan umum).
Memang itulah tugas Pemerintah, sehingga kepentingan umum merupakan kepentingan
atau urusan Pemerintah.[3]
Konsep
kepentingan umum; menurut Banfield, adalah jika melayani seluruh masyarakat
dari beberapa sektor masyarakat'. Seperti yang telah kita lihat, ada alternatif
versi yang mendukung (kepentingan umum), terutama; permintaan mayoritas
berdasar teori nilai sosial. Kepentingan public tidak mampu menyelesaikan,
namun membantu membedakan potensi relevansi kinerja media penelitian murni dari
kelompok, atau individu idiosyncratic poin of view.[4]
Kepentingan
umum disini memiliki banyak aspek penalaran, karena pendefenisiannya yang tidak
diatur secara jelas dan lugas, sehingga menimbulkan berbagai bias pengertian
karena pengkategorian kepentingan umum menjadi dipertanyakan apakah kepentingan
umum yang dimaksudkan disini adalah mengenai kepentingan yang dihubungkan
dengan keuangan negara dilihat dalam fungsinya sebagai badan pemerintahan yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat umum yang ketika dianggap merugikan
negara, maka ketika KUD yang diberikan kredit oleh BRI mengalami kredit macet hal
ini dianggap melanggar kepentingan umum. Namun bisa juga pemaknaannya dikaitkan
dengan ekonomi yang berhubungan erat dengan masyarakat secara sosial.
Kepentingan umum disini bisa jadi berhubungan erat dengan negara yang
memberikan modal kepada BRI berupa saham yang dipunyai negara, kemudian BRI
yang memberikan kredit kepada KUD, sehingga hubungan yang dihasilkan ketika KUD
mengalami kredit dianggap menimbulkan efek domino kerugian kepada BRI yang
kemudian berimbas kepada Negara sehingga menyebabkan kepentingan umum
terganggu.
Kedua,
konsepsi Majelis Hakim Mahkamah Agung yang memutuskan Pengadilan Negeri
Pematang Siantar salah menerapkan hukum sehingga menghasilkan putusan berupa
pernyataan Pengurus KUD Kabupaten Simalungun bersalah melakukan tindak pidana
korupsi dan dihukum dengan pidana percobaan masing-masing 10 bulan disini
memiliki pandangan yang keras terhadap pengkategorian korupsi. Disinipun dapat
dilihat dari beberapa aspek hukum.
Jika
dilihat berdasarkan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi 1999 telah mengalami
kemajuan dibandingkan yang sebelumnya terutama mengenai subyek tindak pidana
tidak hanya”orang perseorangan” tetapi juga “korporasi”. Yang dimaksud dengan
korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (pasal 1 ke-1 Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi 1999).
Dikenakannya
sanksi pidana/tindakan kepada korporasi dalam perkara korupsi ini cukup
beralasan dan sesuai dengan beberapa rekomendasi konggres PBB mengenai The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain:
1.
Dalam rekomendasi Konggres PBB ke-8/1990
ditegaskan, agar ada tindakan terhadap “perusahaan-perusahaan yang terlibat
dalam perkara korupsi”.
2.
Dalam dokumen Konggres PBB ke-9/1995 di
Kairo, antara lain ditegaskan sebagai berikut: “Korporasi, asosiasi kriminal
atau individu mungkin terlibat dalam penyuapan para pejabat untuk berbagai
alasan yang tidak semuanya bersifat ekonomis.
Dalam perkembangan
hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai
subyek tindak pidana (Mardjono Reksodiputro, 1989:9):
1.
Pengurus korporasi sebagai pembuat maka
penguruslah harus bertanggung jawab;
2.
Korporasi sebagai pembuat, maka
penguruslah yang bertanggung jawab
3.
Korporasi sebagai pembuat dan yang
bertanggung jawab.
Namun
perlu ditelaah ulang bagian mana yang dikategorikan tindak pidana. Apakah
hubungan Negara dengan BRI atau hubungan BRI ketika memberikan kredit kepada
KUD atau hubungan paralel ketiganya?. Harus ditelaah ulang mengenai hubungan
tersebut, agar mengetahui bagian mana yang dijadikan dasar pemikiran sehingga
kasus ini dikategorikan sebagai tindakan pidana.
Jika
ditarik kembali hubungan Negara dalam APBN dengan BRI. BRI meruapakan korporasi
sebagai badan hukum memiliki beberapa ciri substantif yang melekat pada
dirinya, yakni:[5]
1.
Terbatasnya Tanggung Jawab
Pada
dasarnya, para pendiri atau pemegang saham atau anggota suatu korporasi tidak
bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian atau hutang korporasi. Jika
badan usaha itu adalah Perseroan Terbatas (PT), maka tanggungjawab pemegang
saham hanya sebatas jumlah maksimum nominal saham yang ia sukai. Selebihnya ia
tidak bertanggung jawab.
2. Perpetual Succession
Sebagai
sebuah korporasi yang eksis atas haknya sendiri, perubahan keanggotaan tidak
memiliki akibat atas status atau eksistensinya; Bahkan dalam konteks PT,
pemegang saham dapat mengalihkan saham yang ia miliki kepada pihak ketiga.
Pengalihan tidak menimbulkan masalah kelangsungan perseroan yang bersangkutan.
Jika PT yang bersangkutan adalah PT Terbuka dan sahamnya terdaftar di suatu
bursa efek (listed), terdapat kebebasan
untuk mengalihkan saham tersebut.
3.
Memiliki Kekayaan Sendiri
Semua
kekayaan yang ada dimiiki oleh badan itu sendiri, tidak oleh pemilik oleh
anggota atau pemegang saham adalah suatu kelabihan utama badan hukum. Dengan
demikian, kepemilikan kekayaan tidak didasarkan pada anggota atau pemegang
saham.
4.
Memiliki Kewenangan Kontrakual Serta
Dapat Menuntut dan Dituntut Atas Nama Dirinya Sendiri
Badan
hukum sebagai subjek hukum diperlakukan seperti manusia yang memiliki
kewenangan kontraktual. Badan itu dapat mengadakan hubungan kontraktual atas
nama dirinya sendiri. Sebagai subjek hukum, badan hukum dapat dituntut dan
menuntut di hadapan pengadilan.
Hubungan Negara dalam
hal ini APBN dengan BRI melihat konsep diatas maka dapat dikatakan hubungan
Negara disini sebatas pemberi modal dalam bentuk saham dan BRI yang menerima
modal. Jika alasan Mahkamah Agung menyatakan bahwa yang menjadi dasar putusan pidana
tersebut sifat khusus dan kepentingan umum. Dalam sifat khusus sebagaimana
analisis awal dalam hubungan APBN sebagai penyerta modal hal ini menjadi rancu
penaalarannya, karena jika hubungan kepemilikan ini dalam hal saham maka ini
adalah hubungan keperdataan. Kemudian kepentingan umum, jika kepentingan umum
disini dalam hubungan negara dan masyarakat maka menjadi salah penafsiran,
karena hubungan yang tercipta merupakan hubungan bisnis yang dilepaskan dalam
hubungan sosial.
Jika ditelaah dalam
hubungan keuangan negara sesuai dengan teori transformasi keuangan negara maka
ketika Negara didalam APBN memberikan modalnya atau menyertakan modalnya
berbentuk saham di BRI maka lepas sudah hubungan keuangan berbentuk APBN dengan
keuangan berbentuk saham. Dengan konsep yang demikian itu, maka ketika negara
menyertakan modalnya dalam bentuk saham ke dalam Persero dari kekayaan negara (keuangan
negara dalam bentuk kekayaan negara) yang dipisahkan, demi hukum kekayaan itu
menjadi kekayaan Persero. Tidak lagi menjadi kekayaan negara. Konsekuensinya,
segala kekayaan yang didapat baik melalui penyertaan negara maupun yang
diperoleh dari kegiatan bisnis Persero, demi hukum menjadi kekayaan Persero itu
sendiri. Maka seperti pengertian korupsi yang didalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi “Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara...”. Maka jika uang dari APBN yang telah
bertransformasi kedalam saham di BRI bukan keuangan negara lagi maka jika
terjadi masalah tidak bisa dikategorikan tindak pidana korupsi.
Kemudian jika yang
dijadikan permasalahan pidana mengenai hubungan BRI dengan KUD dalam pemberian
kredit yang kemudian dalam perjalanannya terjadi kredit macet yang diduga dalam
pemberian kredit berbentuk KMK (Kredit Modal Kerja) yang seharusnya digunakan
untuk pembelian benih dan bibit padi tapi dalam pelaksanaannya digunakan KUD untuk
membeli tanah kantor dan perlengkapan padahal seharusnya untuk Investasi. Jika
melihat kasus disini, maka yang terjadi bukanlah tindak pidana atau kasus
perdata, tapi merupakan masalah adminstrasi. Jika melihat konsep dwaling (salah kira) yang pengartiannya
menurut E. Utrecht terjadi bilamana subjek hukum menghendaki sesuatu dan
membuat sesuatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu, tetapi kehendak
tersebut didasarkan atas suatu bayangan (voorstelling)
yang diartikan mengenai pokok maksud pembuat (zelfstandigheid der zaak) tentang suatu hal yang salah.[6]
Dilihat dalam hubungan tersebut jelas tidak dapat dikatakan terjadi masalah
perdata apalagi jika dimasukkan kedalam kategori tindak pidana terutama
korupsi.
2. Aspek Ekonomi,
Sosial dan Publik Masyarakat
Jika
melihat analisis hukum seperti yang telah dijelaskan diatas dalam kasus yang
terjadi mengenai hubungan Negara didalam APBN dengan Bank Rakyat Indonesia
(BRI) Cabang Pematang Siantar terhadap pemberian kredit kepada Koperasi Unit
Desa (KUD) Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Didalam
kasusnya Kejaksaan Negeri Kabupaten Simalungun mengusut kredit macet tersebut
sebagai tindak pidana korupsi karena perbuatan yang dilakukan pengurus KUD
merugikan keuangan negara c.q. BRI Cabang Pematang Siantar. Penngadilan negeri
Pematang Siantar dalam putusannya menyatakan hubungan antara debitur yaitu KUD
dan kreditur yaitu BRI adalah hubungan keperdataan yang seharusnya diselesaikan
dengan cara dan mekanisme perdata dan menyatakan KUD dilepaskan dari tuntutan
hukum (ontlag van alle rechtsvervolging).
Ternyata Tim Kredit Macet BRI Pematang Siantar telah menjadwalkan kembali
pengembalian kredit dan bunganya setelah pengurus KUD meminta pengunduran waktu
dengan jaminan tanah dan aset KUD, maka sesuailah jika dikaitkan dengan
keperdataan bahwa masalah ini selesai dan KUD dinyatakan bebas.
Tapi
dalam perjalanannya Kejaksaan Negeri Pematang Siantar melakukan kasasi ke
Mahkamah Agung dengan menyatakan alasan kredit bibit dan benih padi berbeda
dengan kredit lain sebagai hubungan keperdataan yang mempunyai unsur kepentingan
umum. Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan Pengadilan Negeri Pematang
Siantar salah menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan karena kredit yang
diberikan kepada KUD Kabupaten Simalungun mengandung sifat khusus dan
kepentingan umum yang harus dilindungi yang jka menyimpang akan menyebabkan
macetnya pengembalian kepada BRI yang berdampak pada kerugian negara. Pengurus
KUD Kabupaten Simalungun dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi
dan dihukum dengan pidana percobaan masing-masing 10 bulan.
Megenai
analisis hukum sudah diapaparkan diatas, yang menjadi analisis lanjutan jika
dilihat dari segi ekonomi. Pertama,
jika dihubungkan ekonomi dan keuangan negara. Dilihat dari analisis ekonomi,
mengenai pengeluaran didalam Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, perlu dianalis pembedaan pengeluaran (biaya) dengan beban.
Menurut
Mulyadi terkait dengan beban dan biaya yang berdasarkan pada periode pemnfaatannya,
beliau membedakannya menjadi Capital
Expenditure (pengeluaran modal), merupakan biaya yang mempunyai manfaat
lebih dari satu periode akuntansi. Revenue
Expenditure (pengeluaran pendapatan), merupakan biaya yang hanya mempunyai
manfaat dalam periode akuntansi terjadinya pengeluaran tersebut.[7]
Di
pihak lain, istilah biaya (cost)
tidaklah sama dengan beban (expense)
dan kerugian (lost). Mengenai
perbedaan ketiganya dapat diambil dari defenisi Firdasu A. Dunia:[8]
1. Biaya
(cost) adalah pengeluaran-pengeluaran
atau nilai pengorbanan untuk memperoleh barang atau jasa yang berguna untuk
masa yang akan datang, atau mempunyai manfaat melebihi satu periode akuntansi
tahunan.
2.
Beban (expense) merupakan biaya (cost)
yang telah memberikan suatu manfaat (expired
cost), dan termasuk pula penurunan dalam aktiva atau kenaikan dalam
kewajiban sehubungan dengan penyerahan barang dan jasa dalam rangka memperoleh
pendapatan, serta pengeluaran-pengeluaran yang hanya memberi manfaat untuk
tahun buku yang berjalan. Jika manfaat dari barang atau jasa itu diterima, maka
biaya (cost0 menjadi beban (expense) atau dengan kata lain biaya (cost) yang telah habis masa manfaatnya (expired) merupakan beban (expense), sedangkan biaya (cost) yang manfaatnya masih akan
diterima (unexpired cost) digolongkan
sebagai aktiva (assets).
3. Kerugian
(loss) adalah biaya (cost) yang timbul ketika barang atau
jasa diperoleh pada hakikatnya tidak mempunyai nilai sama sekali atau tanpa
manfaat apa-apa lagi karena kondisi tertentu.
Teori
ekonomi disini mengokong teori hukum dalam transformasi keuangan negara
tersebut sekaligus menentang pemahaman pengeluaran didalam Undang-Undang No 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Maka sekali lagi dikatakan tidak dapat
dikategorikan merugikan keuangan negara, dengan dasar pengertian keuangan
negara itu sendiri.
Kedua, jika
pengkategorian tindak pidana korupsi yang dikaitkan dengan hubungan Bank Rakyat
Indonesia (BRI) dalam pemberian kredit KUD hal ini selain berdampak terhadap
ekonomi pembangunan juga akan berdampak terhadap sosial dan publik masyarakat.
dari segi ekonomi pembangunan, jika disini kasusnya KUD yang melakukan kredit
terhadap Bank kemudian kredit macet yang kemudian lagi KUD diberikan sanksi
pidana oleh Mahkamah Agung, maka jika ditarik panjang kedepan akan banyak KUD
atau malah masyarakat umum sebagai dampak sosial akan berfikir seribu kali
untuk melakukan kredit dengan Bank. Jika hal ini terjadi maka dampaknya akan
sangat luas, tidak hanya akan membuat kerugian diberbagai Bank tetapi juga akan
membuat keguncangan perekonomian Indonesia.
[3] Sudikno Mertokusumo, ”Kepentingan
Umum” (Senin, 17 Maret 2008) di buat di
Yogyakarta, 1996 Kertas kerja untuk didiskusikan di Kejaksaan Agung Republik
Indonesia
[4] Martin Meyerson, Edward C.
Banfield, Politics, planning, and the public interest: the case of public
housing in Chicago, Universitas Michigan, 1955
[8] Firdaus A. Dunia, Akuntansi Biaya Buku I, (Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1994), hlm. 21.
Langganan:
Postingan (Atom)