Kamis, 24 Mei 2012

TEORI HUKUM KEUANGAN PUBLIK


Kamis, 24 Mei 2012 Pukul 15.17

A. Teori Milik Negara dan Milik Publik (Staatsdpmein En Publiek Domein)
Sebelum masuk kedalam teori keuangan publik sebaiknya membahas mengenai apa yang dimaksud dengan kepemilikan/kepunyaan publik (domaine public) dan kepemilikan/kepunyaan privat (domaine prive). Seperti subjek hukum lainnya, badan-badan pemerintahan dapat memiliki kekayaan (Vermogen) seperti tanah, gedung, mobil dinas, kapal, jembatan, perlabuhan dan sebagainya. Pemerintah dalam menjalankan tugasnya memerlukan barang miliknya sendiri agar lebih efisien (bermanfaat) daripada menyewa dari swasta.[1]
Sejak abad ke-10 terdapat pendapat Proudhon yang secara umum diterima di Prancis dan beberapa negara lain mengenai kedudukan dari kepunyaan negara itu harus diadakan pembagian menjadi; kepunyaan publik (domaine public) dan kepunyaan privat (domaine prive). Menurut Proudhon yang termasuk kepunyaan privat ialah benda-benda kepunyaan negara seperti tanah, rumah dinas bagi pegawai serta gedung perusahaan negara. Hal yang mengatur kepunyaan privat berbeda dari hukum yang mengatur kepunyaan perdata biasa (gawone burgelijke eigendom). Yang termasuk kepunyaan publik ialah segala benda yang disediakan (oleh pemrintah) untuk dipakai [2] Jadi negara sebagai subjek hukum selain mempunyai kepunyaan publik tapi juga mempunyai kepunyaan privat sekaligus yang pengaturan kepunyaan privat disini berbeda dari hukum perdata biasa.
Menurut beberapa pengarang lain yang termasuk kepunyaan publik adalah segala benda yang secara langsung dipakai (oleh pemerintah) untuk menyelenggarakan kepentingan umum, seperti gedung-gedung departemen, gedung-gedung pengadilan, gedung sekolah negeri dan sebagainya. Tapi kedudukan kepunyaan publik disini sama sekali tidak dibawah hukum yang mengatur kepunyaan perdata biasa, melainkan diatur oleh peraturan-peraturan hukum sendiri karena benda-benda kepunyaan publik tersebut mempunyai kedudukan hukum sendiri yang disebut hukum “domiane public”. Terdapat berbagai pandangan berbeda mengenai isi kedudukan hukum benda yang termasuk kepunyaan publik tersebut. Proudhon berpendapat, karena peraturan kepunyaan publik berbeda dengan pengaturan kepunyaan perdata, maka pemerintah bukan “eigenaar” (yang mempunyai, pemilik) benda-benda yang termasuk kepunyaan publik, Negara hanya menguasai (beheren) dan melakukan pengawasan (toezichthouden, droit de garde et de surintendance) atas benda-benda yang termasuk kepunyaan publik.[3]
Pendapat Proudhon mendapatkan banyak pertentangan, sehingga diabad ke-20 mulai ditinggalkan. Prof.Vegting berpendapat, bahwa pendapat Proudhon telah menyimpang dari pendapat tentang hukum telah menyimpang dari sejarah hukum didalam Code Civil Perancis. Menurut H. Benthelemy hak pemerintah atas benda-benda yang termasuk kepunyaan publik bersifat “droit degarde et surintendance”. Planiol pengikut Benthelemy mengemukakan bahwa “domaine public” tidak lain dari penerusan (voortzetting) hak yang oleh orang-orang Romawi diakui  diatas res publicae yang ditempatkan dibawah ex commercium. Menurut M. Hariou dan A. Lubadere kepunyaan publik itu suatu “propriete administratif”, menurut Marcel Waline maka negara “eigenaar” dari benda-benda yang termasuk kepunyaan publik tetapi dalam menjalankan hak-hak yang oleh KUHPerdata diberi suatu “eigenaar”, kekuasaan negara itu terbatas saja. Menurut Barckhausen dengan “domaine public” itu tidak pernah dimaksud suatu tantangan (tegenstelling) terhadap suatukepunyaan perdata dari negara tetapi hanya suatu “rechtsregiem” yang istimewa, yang hanya mengatur dapat atau tidak dapat diasingkannya (vervreemdbaarheid) benda-benda yang termasuk kepunyaan publik seperti semua benda lain maka benda tersebut dapat menjadi objek kepunyaan privat dari negara. Yurisprudensi di Perancis saat sekarang tetap beranggapan bahwa negara atas bednda-benda termasuk publik itu bukan hak “propriete” menurut Code Civil, walaupun hukum privat tidak berlaku bagi kepunyaan publik namun pengaruh hukum privat tetap teras dalam menjalankan hak-hak mengenai kepunyaan publik.[4]
Anggapan Proudhon dibela oleh Thorbecke dan W.C.D.Olivier dari Belanda yang beranggapan bahwa negara tidak menjadi “eigenaar” benda-benda yang termasuk kepunyaan publik, seperti yang diatur didalam KUHPerdata pasal 537 ayat (1) mengenai pokok besit, 1164 ayat (1) mengenai hipotek, 1332 mengenai pokok perjanjian, serta 1953 mengenai kepunyaan diluar perniagaan. Benda-benda yang termasuk kepunyaan publik dianggap “benda diluar perniagaan” (zaken buiten de hendel), maka dengan sendirinya benda-benda tersebut tidak dapat menjadi pokok hak “eigendom”, jadi negara tidak dapat menjadi “eigenaar” benda-benda yang termasuk kepunyaan publik.[5]
Pendapat tersebut kemudian mendapat kritik tajam dari Mr Von Reeken yang mengemukakan 1) Benda-benda yang ditujukan kepada penyelenggaraan kepentingan umum, bukan benda diluar perniagaan, 2) Negara menjadi “eigenaar” dari benda-benda yang termasuk kepunyaan publik. Hukum privat berlaku juga bagi benda-benda tersebut asal tidak bertentangan dengan tujuan publiknya sebagai penggunaan umum (voor het publiek gebruik bestemd).[6]
E. Utrect beranggapan sama seperti Prof.Vegting yang dianggap termodern dalam hukum administrasi negara tentang kedudukan hukum kepunyaan publik, dimana badan-badan pemerintah adalah pemilik kepunyaan publik dan mempunyai segala kekuasaan yang oleh hukum diberi kepada suatu pemilik berhubung dengan hak kepunyaan atas benda pada umumnya. Badan-badan pemerintah ini dapat mengubah tujuan benda-benda yang termasuk kepunyaan publik, mengasingkannya atau membebaninya dengan suatu hak kebendaan yang lebih terbatas secara menyeluruh atau tidak mengubah tujuannya.[7]



B. Keuangan Publik
Keuangan publik (public finance) memiliki keterkaitan dengan aspek publik secara umum dan aspek publik secara khusus yang memiliki keterkaitan dengan negara. Di beberapa negara pemaknaan keuangan publik secara sempit sebagai keuangan negara atau lebih sempit sebagai anggaran negara.[8]
Menurut Soepomo kata publik tidaklah memiliki keterkaitan hanya dengan negar, tetapi pada segala pertanggungjawaban yang bersifat publik. Akan tetapi, publik mempunyai karakteristik negara menguasai benda tersebut sebagai suatu sifat mengatur, dan bukan memiliki. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan keuangan publik berarti keuangan yang dikuasai negara, tetapi dimiliki tidak harus negara, tetapi dapat badan hukum perdata atau publik.[9]
David N. Hymann menyebutkan istilah keuangan publik (public finance) sebagai, “the field economics that studies government activities and alternative means of financing government expenditures”. Ini berarti keuanagan publik mempunyai relevansi dengan anggaran negara dibandingkan sebagai keuangan publik secara menyeluruh. Keuangan publik hakikatnya bertujuan untuk menganalisis peranan keuangan negara (pemerintah) melalui anggran negara dan menggunakan alokasi dana dan manfaat yang digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan negaranya.[10]
Keuangan publik hakikatnya menunjuk pada dua hal yaitu sektor keuangan yang digunakan untuk kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder) dalam lingkungan kuasanya. Atau keuangan yang ditunjukkan pada fungsi penyelenggaraan pemerintahan umum dan pelayanan umum dan pelayanan pyblik. Bagi negara berkembang, keberadaan keuangan publik sama halnya dengan administrasi publik merupakan keharusan sebagaimana dikemukakan Irving Swerdlow yang mengemukakan, “the importance of adequate publik administrastion for economic growth was quickly recognized and emphasized.”[11]
Berdasarkan pendapat Swerdlow dan Zoller sebenarnya dapat ditarik suatu garis penghubung keuangan publik memiliki relevansi erat dengan administrasi publik dan hukum publik. Relevansi terletak pada dua hal, yaitu 1) keuangan publik dijalankan oleh administrasi publik, sehingga keuangan publik dapat dimaknai sebagai himpunan peraturan-pertauran tertantu yang menjadi sebab negara melakukan kegiatan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan publik 2)hukum keuangan publik termasuk kedalam ranah hukum publik karena mengatur perhubungan hukum (rechtbetrekking) yang melahirkan kekuasaan/weenang (bevoegheid).[12]
Dalam perkembangan hukum dewasa ini, keuangan publik tidak hanya dimaksudkan pada fungsi negara untuk melaksanakan dan menyelenggrakan kehendak-kehendak serta keputusan pemerintah secara nyata dan menyelenggarakan undang-undang yang ditetapkan pemerintah dalam sektor keuangan, tetapi juga meluas pada kegiatan yang teratur dan terus menerus melayani kebutuhan dan kepentingan umum yang menciptakan dan memperoleh pendapatan. Pengertian keuangan terakhir inilah yang menyebabkan keuangan publik dimaknai sebagai suatu bangunan arsitektur yang terdiri dari keuangan negara, keuangan daerah, keuangan badan hukum, dan keuangan subjek hukum pribadi, yang masing-masing karakter hukum (rechtkarakter) dan status hukum (rechtsstatues) yang berbeda yaitu semakin bersifat publik, akan semakin luas wewenang (autority, gezag) negara, sedangkan semakin privat akan semakin mengecil wewenang negara.[13]

C. Keuangan Negara dan Kerugian Negara dalam Lingkup Korupsi
Perumusan mengenai keuangan negara dalam penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :[14]
(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”
“Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu. Seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang bila seseorang dengan sengaja menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). [15]
Pasal 2 menyatakan Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi, antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Saya berpendapat bahwa kekayaan yang dipisahkan tersebut dalam BUMN dalam lahirnya adalah berbentuk saham yang dimiliki oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN tersebut.
Kerancuan mulai terjadi dalam penjelasan dalam Undang-undang ini tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan :
“Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, san badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.”

Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut. Dengan demikian kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga belum tentu secara otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas, karena mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari dana cadangan perusahaan. Dengan demikian tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi kerugian atau otomatis menjadi kerugian negara. Namun beberapa sidang pengadilan tindak pidana korupsi telah menuntut terdakwa karena terjadinya kerugian dari satu atau dua transaksi.[16]
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
(garis bawah dari saya).

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Perubahan Keempat) yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a.    Para penyusun Rancangan Undang-Undang atau perancang undang-undang memiliki kewajiban mematuhi prinsip Rule of Law. Sebagai bagian dari kewajiban itu, mereka harus memastikan agar kerangka rancangan mereka ada kejelasan, ketelitian, dan konsistensi. Tanpa kejelasan dan ketelitian, undang-undang tidak dapat diprediksi. Prinsip Negara Hukum menuntut agar sebanyak mungkin orang mengetahui tentang apa yang diperintahkan kepada mereka berdasarkan undang-undang, hal-hal apa yang diberikan kepada mereka berdasarkan undang-undang, dan perilaku apa yang mereka harapkan dari pejabat. Adanya kejelasan dan ketelitian dalam RUU itu sendiri menempatkan tugas penyusun RUU sebagai dasar dari pemerintahan yang bersih dan pembangunan.
b.    Kewajiban penyusun RUU yang jelas dan teliti berasal juga dari tuntutan pemerintahan demokrasi yang berupaya mengadakan reformasi; untuk menggunakan hukum yang mengubah perilaku-perilaku bermasalah dan dalam pengambilan keputusan secara tidak sepihak. Kedua hal tersebut menuntut agar menggunakan hukum dalam mendorong perilaku-perilaku yang menjadi sasaran dari peraturan perundang-undangan – baik warga masyarakat maupun para pejabat. Dalam pembangunan tugas utama hukum yaitu mengatur perilaku-perilaku, baik perilaku peran utama maupun dari para pejabat dalam lembaga-lembaga pelaksanaan (Penegak Hukum).
c.    Demokrasi menuntut kejelasan dan ketelitian dari para perancang undangundang. Pada prinsipnya, melalui peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan pembuat undang-undang yang dipilih secara demokratis, Rakyat menentukan perilaku penguasa. Prinsip Negara Hukum akan runtuh apabila para pejabat yang menjadi sasarannya para hakim dan penegak hukum lainnya tidak mematuhi hukum. Tanpa itu demokrasi berada dalam posisi yang sangat lemah. Para perancang undang-undang wajib memastikan agar RUU mereka mendorong perilaku-perilaku pejabat yang diinginkan, karena sesuai dengan prinsip Negara Hukum (Rule of Law), yaitu pemerintahan harus berdasarkan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
d.    Untuk memastikan bahwa prediksi dapat dibuat, guna mendorong adanya perilaku yang sesuai dengan pemerintahan yang bersih, dan memastikan bahwa khususnya para pejabat pemerintah mematuhi ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, serta para pihak yang dituju undang-undang memiliki akses yang mudah terhadap isi dari undang-undang yang bersangkutan. Sebagai syarat pertama dari kemudahan untuk memperoleh akses, kerangka undang-undang – pengungkapan dari strukturnya secara keseluruhan, perincian tentang siapa melakukan apa, serta kejelasan, ketelitian dan konsistensi kalimat-kalimat dalam undang-undang sehingga memberikan kepastian bagi para pihak yang dituju tentang kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum. Untuk memastikan bahwa prediksi dapat dibuat, dan memastikan agar undang-undang sesungguhnya mendorong perilaku-perilaku yang diinginkan baik untuk mencapai pembangunan maupun pengambilan keputusan tidak secara sepihak, dan untuk melindungi pengendalian demokratis terhadap pemerintah, maka para penyusun RUU harus mampu menghasilkan undang-undang yang terperinci, teliti, jelas dan dapat diakses.
e.    Pasal 2 ayat (1) yang memuat kalimat : “... yang dapat merugikan keuangan Negara ...”, menggunakan kata-kata yang samar-samar. Bagaimana hukum harus ditetapkan atau hukuman dijatuhkan berdasarkan suatu peristiwa yang belum terjadi, belum tentu terjadi atau mungkin tidak terjadi. Kata-kata “... yang dapat merugikan keuangan Negara ...”, pada prakteknya kata-kata ini dapat berarti apa saja sesuai dengan pilihan pembacanya. Bagaimana besar akibatnya bagi tersangka yang dijatuhi hukuman berdasarkan kata-kata di atas, tetapi ternyata kemudian kerugian Negara itu tidak terjadi. Ketika sebuah kasus dibawa ke pengadilan, hal tersebut secara implisit memberikan wewenang kepada hakim untuk merumuskan peraturan-peraturan terperinci yang diperlukan. Ketidakpastian kata-kata demikian tentu saja tidak diinginkan. Membuat RUU yang samar-samar adalah tidak baik, sebuah istilah yang samar-samar memberikan kewenangan kepada setiap pejabat yang melaksanakan undang-undang tersebut, secara tanpa batas. Hal ini dapat menimbulkan apa yang disebut “Judicial Dictatorship” yang tentu saja bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.
Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam yudicial review Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Isi penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 adalah :
“Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”

Setidaknya ada tiga syarat, agar hukum dapat berperanan mendorong jalannya perekonomian bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan “predictability”, “stability” dan “fairness”. Pertama, undang-undang dan pelaksanaannya harus bisa menciptakan “predictability” atau kepastian. Beberapa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya ditafsirkan menurut siapa yang membacanya telah mendatangkan ketidakpastian bahkan kekhawatiran bagi pelaku ekonomi. Kedua, undang-undang sebagai salah satu sumber hukum harus bisa menciptakan “stability” (stabilitas), yaitu dapat mengakomodir kepentingankepentingan yang saling bersaing di masyarakat, antara lain, yaitu kepentingan untuk memberantas korupsi dan kepentingan untuk mendapat kepastian hukum. Ketiga, undang-undang sebagai salah satu sumber hukum harus bisa menciptakan “fairness” (keadilan). Beberapa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya serta penerapannya tidak mendatangkan keadilan.


[1] E. Utrecht dan Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 9, (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1990), hlm. 189.
[2] Ibid., hlm. 189.
[3] Ibid., hlm. 190.
[4] Ibid., hlm. 191.
[5] Ibid., hlm. 192.
[6] Ibid., hlm. 192.
[7] Ibid., hlm. 194.
[8] Donald P. Moynihan “Citizen Participation in Budgeting: Prospects for Developing Countries”, Andwar Shah (ed.), from Participatory Budgeting (Washington D.C: The World Bank, 2007) P. 55. Dalam Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 210.
[9] Op.,Cit. E. Utrecht dan Saleh Djindang, hlm. 197.
[10] David N. Hyman. Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy (Mason: South-Western, 2008),p. 29. Dalam Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 213.
[11] Irving Swedlow, The Public Administration of Economic Development (New York: Praeger Publisher, 1975),p. 235. Dalam Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 214.
[12] H.A. Logemman. Staatrecht van Nederlands dalam Utrecht. hlm. 7.
[13] Dian Puji N. Simatupang. Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. (Jakarta: badan Penerbit FHUI, 2011). hlm. 215.
[14] Erman Rajagukguk, “Pengertian Keuangan Negara Dan Kerugian Negara, Jakarta,  hlm.3.
[15] Ibid.,  hlm. 4.
[16] Ibid.,  hlm. 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar